Kesehatan Masyarakat, Kedokteran Pencegahan Dan Kedokteran Komunitas
- Panduan Keterampilan Program Jaminan Mutu Pendahuluan
Pelayanan kesehatan yang bermutu bisa dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pasien dan sisi pemberi pelayanan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pasien adalah pelayanan kesehatan yang mudah ditemui, mudah didapat, memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dengan pelayanan yang ramah dan sopan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang efektif, memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur terstandar. Artinya sebuah pelayanan kesehatan yang bermutu harus memenuhi kriteria-kriteria dari dua sisi tersebut.
Agar dapat menghasilkan layanan yang bermutu tersebut dan secara konsisten menghasilkan dibutuhkan sebuah program yang disebut program jaminan mutu.
Pengertian
Levits dan Hilts menyatakan bahwa program jaminan mutu adalah proses pengumpulan data dari sebuah pelayanan kesehatan untuk membandingkan kinerja dengan indicator-indikator yang mempengaruhi hasil pelayanan serta mengidentifikasi masalah dalam proses pelayanan dan manajemen pelayanan.
Tujuan
a. Memprioritaskan bagian dari pelayanan kesehatan yang perlu ditingkatkan mutunya
b. Menghasilkan solusi terhadap masalah yang membutuhkan penanganan secara fundamental
c. Membangun kesuksesan organisasi melalui peningkatan mutu pelayanan
Alat dan Bahan
a. Laporan hasil pelayanan
b. Hasil survey terkait hasil pelayanan dan kepuasan pasien
c. Standar prosedur operasional (SPO) atau protap
d. Standar pelayanan medik (SPM) dan panduan praktik klinik (PPK)
Langkah-langkah Pelaksanaan
a. Mempelajari struktur fasilitas pelayanan kesehatan
b. Lakukan observasi di lapangan
c. Menentukan masalah dan prioritas masalah
d. Penetapan masalah dengan teknik criteria matriks
e. Mencari penyebab masalah
f. Merancang alternatif pemecahan masalah dan menemukan pemecahan masalah terbaik
g. Menyusun rencana intervensi
h. Melaksanakan intervensi sesuai dengan rencana
i. Monitoring dan Evaluasi
j. Menuliskan laporan
Analisis/Interpretasi
a. Mempelajari struktur fasilitas pelayanan kesehatan
-
Mempelajari visi dan misi klinik. Melihat apakah misi yang dituliskan sesuai dengan visinya? Apakah misi yang dilaksanakan sesuai dengan visi yang dituliskan?
-
Mempelajari SOP, SPM, PPK. Jika fasilitas kesehatan belum mempunyai SOP, perlu dicari SOP dari sumber bacaan yang sesuai dan terkini.
-
Mempelajari data-data hasil pelayanan dan survey terkait kepuasan pasien
-
Mempelajari perencanaan jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang
-
Mempelajari sumber daya klinik, baik sumber daya manusia atau sumber daya lainnya dikaitkan dengan target klinik, termasuk di dalamnya kuantitas dan kualitas pegawai, reward and punishment system
-
Mempelajari fungsi manajemen lainnya misalnya pengarahan, koordinasi, monitoring serta supervise yang dilakukan setiap manajer dalam klinik.
-
Mempelajari/mengevaluasi pembiayaan klinik.
-
Mempelajari perencanaan dan pengadaan obat.
-
Mempelajari rekam medic serta pemanfaatannya bagi kemajuan klinik.
-
Mempelajari alur pasien untuk efisiensi waktu.
-
Mempelajari fungsi dari masing-masing divisi dalam klinik, misalnya laboratorium, radiologi, klinik gigi. Aoakah masing-masing telah berfungsi secara efektif dan efisien?
-
Mempelajari sistem pencatatan dan pelaporan. Apakah pelaporan sudah dipakai untuk menuju kemajuan klinik? Misalnya membuat tampilan data yang dapat diketahui oleh semua elemen di klinik, dan lain sebagainya.
-
Mempelajari kepuasan pasien.
-
Mempelajari pendidikan kesehatan di klinik.
-
Mempelajari penatalaksanaan dalam menangani satu jenis penyakit.
-
Mempelajari tatacara komunikasi petugas di klinik.
-
Dan lain sebagainya.
b. Melakukan observasi di lapangan
-
Membuat daftar tilik pengamatan
-
Membandingkan struktur yang telah direncanakan dengan kenyataan dilapangan sesuai dengan area pelayanan yang dipilih.
c. Menentukan masalah dan prioritas masalah
-
Melihat apakah ada kesenjangan (gap) antara kenyataan dan apa yang seharusnya terjadi, antara lain dengan melihat SOP klinik atau fasilitas kesehatan yang bersangkutan.
-
Masalah timbul bila terdapat selisih atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
-
Cara menentukan prioritas masalah bisa dengan cara teknik skoring maupun teknik non-skoring.
d. Penetapan masalah dengan teknik kriteria matriks
-
Pentingnya masalah (I = importancy)
-
Kelayakan teknis (T = technical feasibility)
-
Sumber daya yang tersedia (R = resources availability)
Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R yang tertinggi.
Ad. a. Pentingnya masalah (I = importancy) diukur berdasarkan:
-
Besarnya masalah (P = prevalence)
-
Akibat yang ditimbulkan masalah (S = severity)
-
Kenaikan besarnya masalah (RI = rate of increase)
-
Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (DU =
degree of unmet need)
-
Keuntungan social karena selesainya masalah (SB = social benefit)
-
Kepedulian masyarakat (PB = public concern)
-
Suasana atau iklim politik (PC = political climate)
-
Dengan demikian I = P + S + RI + DU + SB + PB + PC Ad. b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility)
Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut.
Ad. c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability) Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut.
Untuk semua variabel (unsur-unsur I, T dan R) diberikan nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting), misalkan untuk variabel P (prevalensi), prevalensi yang paling tinggi diberikan nilai yang tertinggi (5), sedangkan prevalensi terendah diberi nilai 1.
e. Mencari penyebab masalah
-
Buatlah daftar semua penyebab masalah yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya masalah.
-
Pergunakanlah bagan tulang ikan (fish bone diagram) dan pendekatan system, temukan berbagai penyebab masalah tersebut.
-
Kalau penyebab masalah lebih dari satu, pilih prioritas masalah, misalnya dengan menggunakan diagram Pareto atau menggunakan teknik matriks/skoring.
a) Diagram Pareto diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto (1848 – 1923) seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia.
b) Pareto yang melakukan penelitian mengenai perekonomian Italia menemukan fakta bahwa 80% kekayaan bangsa Italia dikuasai oleh 20% dari jumlah penduduknya, yang kemudian dikenal dengan istilah “80 – 20 rule.”
c) Penemuan Pareto dikembangkan oleh Dr. Joseph M. Duran, seorang ahli manajemen, yang menerapkannya dalam bidang manajemen mutu, mengemukakan bahwa 80% dari uang yang hilang (loss) sebagai akibat masalah mutu terdapat dalam 20% item permasalahan mutu.
d) Analogi dalam manajemen pelayanan kesehatan adalah bahwa 80% kerugian akibat masalah
kesehatan terdapat dalam 20% item permasalahan mutu.
f. Merancang alternatif pemecahan masalah dan menemukan pemecahan masalah terbaik
-
Merancang berbagai alternatif penyelesaian berdasarkan pada penyebab masalah terbesar.
-
Alternatif penyelesaian masalah dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan.
-
Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan.
Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin dilaksanakan dengan menggunakan teknik skoring prioritas penyelesaian masalah:
Keterangan:
- M = Magnitude
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar masalah yang dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
- I = Importancy
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin penting jalan keluar tersebut.
- V = Vulnerability
Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi, makin sensitive jalan keluar tersebut.
- C = Cost
Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih.
g. Menyusun rencana intervensi
- Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat rencana lengkap untuk intervensi, yang terdiri atas:
a) Latar belakang
b) Tujuan
c) Metoda
d) Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e) Instrumen yang dipakai ( observasi, kuesioner atau pemeriksaan)
f) Batasan operasionil data yang diambil
-
Tentukan cara membuat pengukuran pra intervensi
-
Harus diingat bahwa dalam membuat proposal intervensi harus selalu menerapkan metoda 5W dan 1H:
a) Why à Mengapa perbaikan harus dilakukan?
b) What à Apa rencana perbaikannya?
c) Where à Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan?
d) When à Kapan (rentang waktu) dilakukannya perbaikan?
e) Who à Siapa yang bertanggung jawab?
f) H (how)
Ada beberapa jenis penerapan dalam mengajukan pertanyaan h (How) yang pada dasarnya semua benar dan bisa digunakan.
-
Menggunakan satu H à Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
-
Menggunakan dua H
a) How à Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
b) How much à Berapa besar hasil yang akan dicapai setelah perbaikan?
- Menggunakan tiga H
a) How à Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
b) How much effort à Berapa besar daya upaya atau usaha yang telah dilakukan dalam perbaikan ini?
c) How much benefit à Berapa nilai hasil yang akan dicapai setelah perbaikan ini?
h. Melaksanakan intervensi sesuai dengan rencana Hal yang perlu diperhatikan adalah:
-
Penjelasan tentang intervensi secara rinci
-
Tujuan intervensi
-
Target dan sasaran intervensi
-
Langkah-langkah pelaksanaan intervensi
-
Sumber daya yang dibutuhkan meliputi sumber daya manusia, dana, materi, dan waktu.
-
Jadwal pelaksanaan intervensi
i. Monitoring dan Evaluasi
-
Menentukan cara pengukuran pasca intervensi
-
Monitoring dilaksanakan sepanjang proses intervensi
-
Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 kali dalam proses intervensi tersebut yaitu di tengah dan di akhir
-
Buatlah analisis perbanding pra dan pasca intervensi
Referensi
a. Azrul Azwar_. Program Jaminan Mutu_. Dian Pustaka.
b. Hughes RG. Tools and Strategies for Quality Improvement and Patient Safety: An Evidence-Based Handbook for Nurses. Rockville; US, 2008.
c. Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books of Tools, 1st ed. McMaster Innovation Press;Toronto, 2010.
d. Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving Quality Through Problem Solving and Process Improvement, 2nd Ed. USAID;Wisconsin, 1997.
- Identifikasi Dan Modifikasi Gaya Hidup Pendahuluan
Indonesia saat ini menghadapi pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke arah penyakit tidak menular (PTM). Hal ini tidak dapat dipisahkan dari perubahan demografis yaitu pergeseran struktur umur penduduk Indonesia yang bergerak ke arah penduduk usia tua (aging population). PTM yang meningkat berperan dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas penduduk Indonesia. WHO
memprediksi kondisi Indonesia tahun 2030, penyebab kematian antara lain oleh penyakit kardiovaskular (30%), kanker (13%), diabetes melitus (3%) PTM lainnya 10%, dan cedera (9%). Penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer menduduki peringkat pertama penyebab kematian.
Berbeda dengan penyakit menular, pengendalian PTM sangat tergantung dari pengendalian gaya hidup untuk mendorong masyarakat memiliki gaya hidup sehat. WHO memperkirakan bahwa 90% penyakit diabetes melitus tipe 2, 80% penyakit kardioserebrovaskular, dan 33% penyakit kanker sebenarnya dapat dicegah dengan mengkonsumsi makanan tinggi serat, olahraga teratur dan tidak merokok. Karena itu, dokter layanan primer harus menguasai cara modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengendalikan PTM.
Pengertian
Gaya hidup adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan, baik dalam membentuk hidup sehat maupun menghindari kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
Indikator perilaku hidup sehat menurut Departemen Kesehatan RI adalah:
a. Cek kesehatan berkala
b. Perilaku tidak merokok
c. Pola makan seimbang
d. Aktivitas fisik yang teratur
e. Kelola stress Tujuan
a. Mengembangkan kegiatan pencegahan faktor risiko PTM
b. Mengembangkan kegiatan deteksi dini (skrining)
c. Mengembangkan keterampilan KIE dan konseling gaya hidup di layanan primer
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengendalian PTM Alat dan Bahan
a. Alat penimbang badan
b. Alat pengukur tinggi badan
c. Meteran
d. Alat pengukur gula darah
e. Genogram
f. Lembar konseling Langkah-langkah Pelaksanaan
a. Identifikasi faktor risiko dan skreening
-
Faktor risiko PTM ada yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti riwayat penyakit dalam keluarga, kelahiran prematur, usia dan jenis kelamin.
-
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain, kurang aktivitas fisik, pola makan tidak sehat dan tidak seimbang, gaya hidup tidak sehat (merokok, minum alkohol), berat badan berlebih/obesitas, stres, hiperglikemia, dislipidemia.
-
Faktor risiko tersebut dapat diindentifikasi dengan atau tanpa alat. Kegiatan skrining tanpa alat berupa anamnesa mendalam tentang:
a) Riwayat PTM di keluarga (dapat dibuat dalam bentuk genogram)
b) Pola makan sehari hari (dapat diperkirakan jumlah kalori dan makanan tidak sehat)
c) Pola aktivitas fisik
d) Keadaan yang menimbulkan stress baik di kantor, rumah tangga, lingkungan lain
- Faktor risiko yang dapat dideteksi dengan alat yaitu status antropometri sederhana yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) dari berat badan dan tinggi badan serta lingkar perut. Demikian juga dengan pemeriksaan tanda-tanda vital seperti tensi, palpasi nadi, auskultasi jantung paru, test sensasi pada tungkai dan nadi dorsalis pedis, mengingat hipertensi dan DM adalah faktor risiko dan penyebab cerebrovaskular disease.
b. KIE dan Konseling
Kementerian Kesehatan membuat mnemonic yang dapat digunakan dalam konseling gaya hidup yaitu “CERDIK” dan “Patuh” yang merupakan singkatan dari :
C – Cek kesehatan secara berkala E – Enyahkan asap rokok
R – Rajin aktivitas fisik
D – Diet sehat dengan kalori seimbang I - Istirahat yang cukup
K – Kelola stress Dan
Patuh pada Pengobatan
Cek kesehatan secara berkala
Mendorong pasien dan masyarakat untuk mau memeriksakan diri dalam melakukan deteksi dini khususnya bagi yang berisiko tinggi PTM baik dengan atau tanpa keluhan
Hindari asap rokok
Konseling berhenti merokok dapat dilakukan dengan langkah 5A yaitu :
_A1._Ask (Tanyakan)
Tanyakan kepada pasien apakah ia merokok. Jika “tidak”, berikan puji dan beri dukungan untuk terus tidak merokok. Jika “Ya”, coba perdalam kebiasaannya merokoknya meliputi kapan mulai merokok, kretek/filter, jumlah batang per hari, dan perdalam belief (kepercayaan) pasien tentang rokok.
A2. Advice (Menasehati)
Nasihatkan untuk berhenti merokok dengan memberikan pandangan jernih, kuat dan personal. Pendekatan Health Belief Model dapat dilakukan seperti:
- Mempengaruhi Perceived susceptibility dan severity: Meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakit apa saja yang diakibatkan rokok serta akibat serius dari merokok, contoh:
“Pak merokok itu akibatnya bisa bermacam-macam, bisa serangan jantung, stroke, kanker, impoten dan kondisi berbahaya lainnya. Bahkan yang paling buruk adalah mengancam jiwa. Saya harap Bapak dapat stop merokok mulai sekarang ya pak.”
2) Mempengaruhi Perceived barrier:
Mengidentifikasi hambatan pasien untuk merokok dan ambivalensi yang terjadi:
“Bapak sepertinya kesulitan ya untuk berhenti merokok? kenapa pak? (dengarkan alasan pasien dengan empati)......Setiap perubahan kebiasaan itu perlu perjuangan, termasuk kebiasaan untuk berhenti pak. Buktinya saat puasa bapak bisa kan?”
- Mempengaruhi Perceived__benefit:
Memotivasi pasien dengan mengingatkan hal personal – bermakna dan bermanfaat jika berhenti merokok, contoh_: ”Pak, anak bapak masih kecil-kecil, masih membutuhkan bapak untuk mendidik mereka, ayo berhenti merokok pak agar bapak bisa terus menemani dan mendidik mereka dalam kondisi sehat”._
Alat edukasi untuk mendukung tindakan:
Berikan leaflet berhenti merokok, tunjukkan gambar akibat merokok, artikel dll
A3. Asses (mengkaji)
Tanyakan kembali “Apakah anda ingin berhenti merokok
sekarang?”
A4. Assist (berikan dukungan)
Bantu mempersiapkan rencana berhenti merokok seperti:
-
Tetapkan tanggal berhenti
-
Informasikan rencana berhenti pada keluarga dan teman
-
Meminta dukungan mereka
-
Buang jauh- jauh rokok
-
Singkirkan benda-benda yang menimbulkan keinginan merokok
-
Mengatur kunjungan tindak lanjut (idealnya kunjungan follow up kedua dianjurkan dalam bulan yang sama, kemudian setiap bulan, setelah itu 4 bulan, enam bulan dan satu tahun. Jika tidak memungkinkan lakukan konseling setiap kali pasien datang berobat)
A5. Arrange (Pengaturan).
-
Ucapkan selamat dan sukses karena pasien sudah berhasil berhenti merokok
-
Jika pasien kambuh, pertimbangkan tindak lanjut untuk konseling psikologis karena 60-80% relapse berhubungan
dengan masalah stress. Pertimbangkan family conference
untuk meminta dukungan keluarga.
Aktivitas Fisik
Sampaikan kepada pasien bahwa aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga (pembakaran kalori), yang meliputi aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga.
Aktivitas fisik ringan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan menggerakkan tubuh. contoh aktivitas fisik berupa berjalan kaki, mengetik, membersihkan kamar, berbelanja.
Aktivitas fisik sedang adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga cukup besar, bergerak yang menyebabkan nafas sedikit lebih cepat dari biasanya, contoh: bersepeda, menari, tenis, dan menaiki tangga.
Aktivitas fisik berat adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga cukup banyak (pembakaran kalori) sehingga nafas jauh lebih cepat dari biasanya, contoh sepak bola, berenang, dan basket angkat beban.
Keuntungan dari melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah perbaikan fungsi jantung dan paru, berkurangnya faktor risiko penyakit jantung koroner dan rasa depresi, serta menurunkan risiko osteoporosis.
Usahakan untuk berolahraga teratur minimal 3 kali seminggu dengan meningkatkan secara bertahap dari ringan ke berat.
Diet sehat dengan kalori seimbang
Pasien perlu disampaikan untuk hidup dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah yang cukup. Ragam pangan yang dikonsumsi harus dapat memenuhi tiga fungsi makanan, yang dikenal dengan istilah Tri Guna Makanan. Fungsi ini terdiri atas zat tenaga yang berasal dari karbohidrat, zat pembangun
yang berasal dari protein, dan zat pengatur yang berasal dari vitamin dan mineral.
Hal yang perlu diperhatikan pada saat mengkonsumsi makanan, yaitu:
a. Perhatikan konsumsi garam dengan membatasi sampai <5 gram (1 sendok teh) per hari, kurangi garam saat memasak, dan batasi makanan olahan atau cepat saji
b. Konsumsi buah-buahan/sayuran dengan 1 buah jeruk/ apel/pisang/mangga atau 3 sendok makan sayur
c. Hindari makanan berlemak dengan cara membatasi daging berlemak (gajih), lemak susu, minyak goreng (<2 sendok makan per hari). Ganti dengan minyak sawit/zaitun, kedelai, jagung, dan ganti daging berlemak dengan ayam tanpa kulit
d. Konsumsi ikan setidaknya 3 kali per minggu
e. Konsumsi air putih setidaknya 1,5-2 liter per hari
Istirahat cukup
Usahakan memperhatikan kualitas istirahat setiap 7 jam bekerja. Perhatikan kuantitas dan kualitas tidur minimal 6-8 jam per hari.
Tips membuat istirahat berkualitas:
a. Miliki jadwal tidur yang tetap
b. Evaluasi lingkungan disekitar tempat tidur apakah ada yang sering membuat terbangun
c. Olahraga teratur
d. Batasi kafein (kopi)
e. Hindari makan berat saat akan memasuki jam tidur
f. Kelola stres
Kelola stres
Berpikir positif, beribadah dan berdoa, bersyukur, meditasi, dengarkan musik relaksasi, pemijatan, miliki sikap mental positif, visualisasi
Patuh pada Pengobatan
a. Bila pasien diberi resep obat, maka ajarkan : cara minum obat di rumah, jelaskan erbedaan obat yang diminum jangka panjang
dan jangka pendek. Jelaskan efek samping obat dan warning sign (contoh hipoglikemia pada OAD)
b. Jelaskan cara kerja obat dengan cara sederhana, hindari medical jargon
c. Pastikan pemahaman pasien dan persilakan untuk bertanya
Analisis/ Interpretasi
a. Interpretasi Obesitas Sentral
Jika lingkar perut >102 (Asia : > 90 cm) dan pada wanita > 82 cm (Asia > 80 cm)
b. Interepretasi berat badan berlebih dan obesitas dari Indeks Massa Tubuh versi Asia
c. Interpretasi Tekanan Darah
Tabel 19. Klasifikasi Hipertensi (JNC VII, 2003)
Klasifikasi | Sistolik | Diastolik |
Normal | <120 | <80 |
Prehipertensi | 121-139 | 81-90 |
Hipertensi stage 1 | 140-159 | 91-99 |
Hipertensi stage 2 | ≥160 | ≥100 |
Referensi
a. Donatelle. R. 2008. Acces to Health. Pearson Bejamin Cummings. San Fransisco
b. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Puskesmas.
c. Prochasca J, Norcros, Diclemente. 2007. Changing for Good : A Revolutionary Six-Stage Program for Overcoming Bad Habits and Moving Your Life Positively Forward. Collins, US.
- Diagnosis Komunitas Pendahuluan
Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas kesehatan di layanan primer perlu melakukan Diagnosis Komunitas (Community Diagnosis), sehingga program kesehatan yang dilakukan
sesuai dengan masalah yang terutama dihadapi oleh komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai pimpinan institusi/unit kesehatan yang bertanggung jawab atas kesehatan suatu komunitas/masyarakat.
Di antara pendekatan kedokteran klinis dan kedokteran komunitas dalam penegakan diagnosis masalah kesehatan, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Seorang klinisi akan memeriksa pasien serta harus mampu menentukan kondisi patologis berdasarkan gejala dan tanda yang ada agar dapat menegakkan diagnosis penyakit dan memilih cara tepat untuk pengobatannya. Pada kedokteran komunitas, keterampilan epidemiologi (mempelajari tentang frekuensi dan distribusi penyakit serta faktor determinan yang mempengaruhinya di kalangan manusia) sangat diperlukan untuk dapat memeriksa seluruh masyarakat dan memilih indikator yang sesuai untuk menjelaskan masalah kesehatan di komunitas; kemudian menetapkan diagnosis komunitas serta menetapkan intervensi yang paling efektif untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pengertian
Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu masalah dengan cara pengumpulan data di masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis komunitas adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatannya.
Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi masalah kemudian mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga menghasilkan suatu rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan diagnosis komunitas merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter untuk menerapkan pelayanan kedokteran secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan keluarga dan okupasi terhadap pasien.
Tujuan
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
b. Mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
c. Menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi pemecahannya
d. Menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat primer
e. Berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
f. Membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan Alat dan Bahan
Data sekunder berupa:
a. Profil wilayah
b. Angka kesakitan dan kematian di wilayah
c. Indikator kegiatan program
d. Laporan-laporan lain
Data primer berupa:
-
Hasil wawancara
-
Hasil observasi
-
Instrumen pengambilan data Langkah-langkah Pelaksanaan
a. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
b. Menentukan instrument pengumpulan data
c. Pengumpulan data dari masyarakat
d. Menganalisis dan menyimpulkan data
e. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi. Analisis/Interpretasi
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup beberapa aspek di bawah ini:
a. Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota, kecamatan, kelurahan)
b. Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
c. Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
d. Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
e. Kelompok agama yang utama
f. Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
g. Sarana ekonomi (pasar, toko)
h. Sarana transportasi
i. Sarana komunikasi
j. Sarana penyediaan air
k. Sarana sanitasi
l. Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
m. Sekolah dan sarana pendidikan lain
n. Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)
o. Pola penyakit:
-
Penyebab utama dari gangguan kesehatan
-
Jenis penyakit yang paling banyak
-
Masalah kesehatan khusus
p. Perilaku sehat dan sakit
-
Kemana mencari pertolongan ketika sakit
-
Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
-
Apa peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan
Hasil diagnosis sebaiknya terdiri atas tiga aspek yaitu:
a. Status kesehatan di komunitas
b. Determinan dari masalah kesehatan di komunitas
c. Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di komunitas dan area yang lebih luas
Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis komunitas adalah:
a. Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate
atau rasio untuk perbandingan
b. Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan sepanjang waktu yang diamati serta perencanaan ke depan
c. Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan distrik yang lain atau ke seluruh populasi
d. Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mudah dan cepat
Referensi
a. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances. Jaypee Brothers, Medical Publishers; 2010. 904 p.
b. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia [online]. 2012 [disitasi 5 Mei 2014]; Diunduh dari:
http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011% 20Th%202012%20Ttg%20Standar%20Kompetensi%20Dokter%2 0Indonesia%20%202012.pdf
c. World Health Organization. City health profiles: how to report on health in your city. ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at: www.euro.who.int/ document/wa38094ci.pdf
d. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the development of city health profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03.
Available at: www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
e. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable disaster preparedness. Journal of Natural Disaster Science. 2006;28(1):25–33.
f. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and health action: a manual for tropical and rural areas. Macmillan; 1979. 208 p.
g. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013.
- Diagnosis Holistik Dan Keluarga
Pendahuluan
Sebagian besar ilmu yang digunakan oleh seorang dokter layanan primer adalah ilmu kedokteran keluarga. Ilmu kedokteran keluarga merupakan ilmu yang mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran, berorientasi pada pelayanan kesehatan tingkat primer yang bersinambung dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya. Termasuk diantaranya terkait pada masalah-masalah keluarga yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan yaitu masalah sehat-sakit yang dihadapi oleh perorangan sebagai bagian dari anggota keluarga. (PB IDI, 1983) Pengertian
Penyakit adalah sebuah fenomena psikososial yang sama kontribusinya dengan fenomena biologis. Dokter keluarga harus menyadari bahwa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya sehat- sakit dan sejahtera tidak hanya berasal dari dimensi fisik, tetapi juga dari dimensi sosial dan psikologis pasien (model bio-psiko-sosial kesehatan) serta dari keluarga dan komunitasnya. Dengan memperhatikan ini, dokter dapat memecahkan masalah kesehatan fisik secara efektif. Solusi untuk kesehatan yang baik sebenarnya terletak di luar obat-obatan.
Dalam praktik dokter keluarga, beberapa pasien mungkin mengalami masalah sosial atau psikologis sebagai penyebab kesehatan yang buruk dan ini dapat diekspresikan sebagai keluhan fisik.
Seorang dokter yang bekerja di layanan primer membutuhkan pemikiran holistik dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam sehat-sakit dan sejahtera. Oleh karena itu, perlu adanya pencarian penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan dengan aspek personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial, keluarga, serta lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor risiko internal dan eksternal).
Tujuan
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam sehat- sakit dan sejahtera
b. Pencarian penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan dengan aspek personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial, keluarga, serta lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor risiko internal dan eksternal).
c. Penyelesaian masalah dapat dilakukan langsung secara efektif dan efisien terhadap penyebab utamanya.
Alat dan Bahan
a. Berkas pasien
-
Alasan Kedatangan
-
Riwayat perjalanan penyakit
-
Riwayat penyakit keluarga
-
Riwayat reproduksi
-
Riwayat social dan perilaku
-
Pemeriksaaan fisik (status generalis dan lokalis)
-
Pemeriksaan penunjang (bila ada)
-
Diagnosis holistik
-
Tatalaksana medikamentosa, non medikamentosa, edukasi
-
Rencana Follow up dan rujukan (bila perlu)
b. Berkas keluarga
-
Profil anggota keluarga tinggal 1 rumah
-
Genogram (minimal tiga generasi)
-
Bentuk keluarga:
Keluarga inti/ ekstended/ majemuk/ orangtua tunggal/ pasangan lansia
- Tahapan kehidupan (satu keluarga bisa lebih dari satu tahapan):
Fase keluarga pasangan baru menikah Fase keluarga dengan anak bayi
Fase keluarga dengan anak balita
Fase keluarga dengan anak usia sekolah Fase keluarga dengan anak usia remaja
Fase keluarga dengan anak meninggalkan rumah Fase keluarga dengan orang tua usia pertengahan Fase keluarga dengan usia lansia
- Fungsi keluarga: Fungsi biologis Fungsi psikologis Fungsi social Fungsi ekonomi Fungsi adaptasi
Perilaku pencegahan dalam keluarga Lingkungan rumah
Langkah-langkah Pelaksanaan Diagnosis holistik terdiri dari 5 aspek :
a. Aspek Personal (patient centered approach)
-
Idenfitikasi alasan kedatangan pasien
-
Identifikasi harapan pasien
-
Identifikasi kekhawatiran pasien
b. Aspek Klinik
-
Identifikasi diagnosis kerja/diagnosis klinis
-
Identifikasi diagnosis banding
c. Aspek Risiko Internal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari dalam tubuh pasien : status gizi, perilaku, imunitas, jenis kelamin, usia, dll.
d. Aspek Risiko Eksternal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari luar tubuh pasien : lingkungan keluarga, lingkungan rumah, lingkungan pekerjaan, stressor, dll
e. Aspek Fungsional
Identifikasi derajat fungsional pasien yaitu dampak aktivitas harian pasien saat mengalami keluhan/gejala yang dikeluhkan (International Classification of Primary Care).
Analisis/Interpretasi
Tabel 20. Aspek dalam diagnosis holistik
No Aspek | Rincian | Keterangan/Contoh | |||
1. | Alasan kedatangan pasien | 1.1. keluhan utama (reason of encounter)/simptom/ sindrom klinis yang ditampilkan2.2. apa yang diharapkan pasien atau keluarganya3.3. serta apa yang dikawatirkan pasien atau keluarganya | Keluhan (complaints) dari fisik, mentalneuropsikologikososial | ||
2. Diagnosis klinis biologikal,psikomental, | Bila belum cukupkerja. | diagnosis dapat dengan | klinis ditegakkan diagnosis | Diagnosis berdasarkan ICD 10, dan ICPC-2 yang juga mengemukakan masalahsosial dan derajat penyakit | |
No | Aspek intelektual, nutrisi sertakan derajatkeparahan . | Rincian | Keterangan/Contoh |
3. | Perilaku | - kebiasaan merokok- kebiasaan jajan, kebiasaan makan- kebiasaan individu mengisi waktu dengan perihal yang negatif | (_dietaryhabits;_tinggi lemak, |
individu dan | tinggi kalori, sedentary | ||
gaya hidup | lifestyle) | ||
(life style), | |||
kebiasaan | |||
yang | |||
menunjang | |||
terjadinya | |||
penyakit, | |||
beratnya | |||
penyakit | |||
(faktor risiko | |||
internal) | |||
4. Pemicu | 4.1. pemicu primer | - | |
psikososial | adalah dinilai dari | ||
dan | dukungan keluarga | ||
lingkungan | yang terdekat (family | - | |
dalam | support) | ||
kehidupan | |||
seseorang | |||
hingga | |||
mengalami | |||
penyakit | |||
seperti yang | |||
ditemukan | |||
(faktor risiko | 4.2. pemicu dukungan | - | |
eksternal) | keluarga lainnya | ||
(dinilai dari tidak | |||
adanya/kurangnya) | - | ||
sesuai kedekatan |
No****Aspek Rincian Keterangan/Contohhubungan seseorang Kurangnya pengobatan/ dengan keluarganya) perawatan oleh keluarga- Tidak ada penyelesaian masalah yang dilakukan ,- tidak ada waktu yang disediakan keluarga- pekerjaan (penuh waktu, kerja keras fisik, psikologis)- pengaruh negatif dari: kultur, budaya, pergaulan kebiasaan keluarga, kepercayaan, pendidikan (rendah, keterampilanterbatas) | |||
4.3. pemicu sosial (yang negatif) dapat menimbulkan masalah kesehatan , atau kejadian penyakit | - kebiasaan buruk berkaitan tidak berolah raga,- perilaku jajan keluarga (tak masak sendiri), menu keluarga yang tak sesuai kebutuhan- perilaku tidak menabung (perilaku konsumtif)- tidak adanya perencanaan keluarga(tak ada pendidikan anak , tak ada pengarahanpengembangan karier ) | ||
4.4. masalah perilaku - perilaku kebersihan keluarga yang tidak buruksehat - perilaku keluarga pemanfaatan waktu luang buruk- penggunaan obat addiktif,penggunaan napza, |
No | Aspek | Rincian | Keterangan/Contohmerokok | |
4.5. masalah ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap penyakit/masalah kesehatan yang ada | - pendapatan tak cukup, tak menentu dengan jumlah keluarga besar- ketergantungan finansial pada orang lain- ratio ketergantungan (beban keluarga) | |||
4.6. akses pada pelayanan kesehatan yang mempengaruhi penyakit : | - tak mudahnya untuk mencapai tempat praktik- tiada biaya berobat,- tidak mempunyai sistem pra upaya/Asuransi Kesehatan)- pelayanan provider kesehatan yang tidak informatif, tidak ramah, tidak komprehensif | |||
4.7. pemicu dari lingkungan fisik | - polutan dalam rumah (asap dapur, asap rokok,debu)- pada tempat kerja (polusi asap, debu, kimia) padalingkungan pemukiman | |||
4.8. masalah dengan bangunan tempat tinggal yang berdampak negatif terhadap kesehatan pasien dan keluarga | - ventilasi, tak ada/tak memadai- pencahayaan kurang/ tertutup banguan tinggi,- sumber air tak sehat (MCK),- wc umum, sistempembuangan , |
No | Aspek | Rincian | Keterangan/Contoh | |
4.9. lingkungan pemukiman berdampak pada seseorang | yang negatif | - keamanan gedung; ergonomi rumah, tangga, licin (terutama untuk lansia, balita),- privasi tak ada, kepadatan hunian, bising | ||
- kepadatan perumahan- sistem pembuangan sampah, limbah- kebersihan, kebisingan, pemukiman kumuh , dll | ||||
5. Fungsi sosial seseorang | Aktivitas Menjalankan Fungsi Sosial Dalam Kehidupan | kemampuan dalam menjalani kehidupan untuk tidak tergantung pada orang lain. (skala 1-5) | ||
Skala 1 | - Mampu melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit | - Perawatan diri, masih mampu beraktivitas rutin seperti biasa di dalam dan di luar rumah (mandiri) | ||
Skala 2 | - Mampu melakukan pekerjaan ringan sehari- hari di dalam dan luarrumah | - Mulai mengurangi aktivitas rutin sehari-hari | ||
Skala 3 | - Mampu melakukan perawatan diri, tapi tak mampu melakukan pekerjaan ringan | - Hanya mampumelakukan aktivitas ringan, perawatan diri masih bisa dilakukan sepenuhnya, |
Referensi
a. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2nd ed. Oxford:Oxford University Press, 2009.
b. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine Practice. Singapore: Singapore International Foundation, 2004.
c. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The Contribution of Family Medicine. A guidebook. WONCA, 2002.
d. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine. 5th ed. London:Arnold Publisher, 2003.
e. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care Approach. Philadepphia:WB Saunders Company, 1996.
f. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th ed. Philadephia:Elsevier Saunders, 2011.
g. Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, 2008.
- Diagnosis Penyakit Akibat Kerja (Okupasi) Pendahuluan
Pajanan yang spesifik telah diketahui memiliki hubungan dengan berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan hubungan kausal antara pajanan dan penyakit yaitu berdasarkan kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, waktu, dan
dosis. Banyak penelitian yang mengungkap bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada masyarakat umum. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya pajanan-pajanan khusus di kalangan pekerja ditambah dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung. Hal tersebut sangat disayangkan karena sesungguhnya banyak penyakit yang dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat kerja.
Pengertian
Diagnosis okupasi terdiri dari:
a. Penyakit akibat kerja/ PAK (Occupational Diseases) menurut International Labor Organization (ILO), 1998 adalah Penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
b. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease) 1998:
Adalah Penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. (Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja).
c. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (Diseases affecting working populations)
Adalah Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan. Penyakit tersebut juga dikenal dengan Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan.
Bahaya Potensial Fisik
Bahaya potensial fisik mengacu pada sekelompok bahaya potensial yang memiliki kemampuan secara fisik atau “energi” untuk
mempengaruhi kesehatan manusia. Contoh bahaya potensial yang masuk pada kategori fisik adalah: radiasi elektromagnetik, suhu (panas dan dingin), radiasi akustik/bising, radiasi gelombang magnet, debu (tidak dapat didefinisikan sifat kimianya
Bahaya Potensial Kimia
Bahaya potensial kimia mengacu pada sekelompok bahaya potensial yang memiliki sifat dasar dan struktur mewakili unsur kimia tertentu. Beberapa contoh bahaya potensial kimia tersebut menurut efek yang ditimbulkan dapat dibagi menjadi : racun, bahan toksik, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, dan iritan.
Bahaya Potensial Biologi
Bahaya potensial biologi didefinisikan sebagai bahaya potensial yang terdiri dari mikroorganisme hidup yang ditemukan di tempat kerja dan mempengaruhi kesehatan. Umumnya diklasifikasikan menurut jenis mikroorganismenya seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Bahaya Potensial Ergonomi
Bahaya potensial ergonomi dikaitkan dengan kesesuaian alat kerja dengan biomekanik pekerjanya dan sebaliknya kesesuaian biomekanik pekerja dengan alat kerjanya. Pada bahaya potensial ergonomi ini diidentifikasi posisi-posisi janggal dalam bekerja, gerakan repetitif, angkat angkut manual yang bila dilakukan untuk durasi dan beban tertentu akan memberikan dampak kesehatan pada pekerja dan pencahayaan.
Bahaya Potensial Psikososial
Bahaya potensial psikososial memiliki karakteristik khusus, mengingat bahaya potensial ini berikatan dengan pemicu di tempat kerja yang dapat menimbulkan stess psikologis. Bahaya potensial yang sering dikaitkan dengan aspek psikososial adalah hal yang berkaitan dengan beban kerja baik fisik maupun non fisik, hubungan interpersonal baik sesama pekerja maupun atasan dan bawahan, iklim kerja, rotasi kerja dan kerja gilir, jenjang karir dan adanya tekanan psikologis lainnya di tempat kerja.
Tujuan
a. Dasar terapi
b. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian
c. Melindungi pekerja lain
d. Memenuhi hak pekerja
Alat dan Bahan
-
Berkas pasien
-
Alasan kedatangan
-
Riwayat perjalanan penyakit
-
Riwayat penyakit keluarga
-
Riwayat reproduksi
-
Anamnesis okupasi Jenis pekerjaan Uraian tugas
Bahaya potensial fisik, kimia, biologi, ergonomic, psikososial Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi
Risiko kecelakaan kerja
-
Hubungan pekerjaan dengan keluhan yang dialami
-
Pemeriksaaan fisik (status generalis dan lokalis)
-
Pemeriksaan penunjang (bila ada)
-
Diagnosis klinis
-
Tatalaksana medikamentosa, non medikamentosa, edukasi
-
Rencana Follow up dan rujukan (bila perlu)
Langkah-langkah Pelaksanaan
a. Menentukan diagnosis klinis
b. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pekerjaan
c. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit (berdasarkan evidence based medicine)
d. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup
e. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan
f. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
g. Menentukan Diagnosis Okupasi/ Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Analisis/ Interpretasi
Tabel 21. Langkah mendiagnosis PAK
Langkah
Dasar diagnosis
(anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, body map, brief survey)
Fisik Kimia Biologi
Ergonomi (sesuai brief survey) Psikososial
Pajanan di tempat kerja yang menyebabkan diagnosis klinis di langkah 1 (satu).
Dasar teorinya apa?
Masa kerja
Jumlah jam terpajan per hari Pemakaian APD
Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar perhitungannya
6. Apa terpajan bahaya potensial yang sama spt di langkah 3 di luar tempat kerja? Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi
Apa diagnosis klinis ini termasuk penyakit akibat kerja?
Bukan penyakit akibat kerja (diperberat oleh pekerjaan atau bukan sama sekali PAK)
Butuh pemeriksaan lebih lanjut)?
PERDOKI (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia) membuat pembagian dari hasil akhir suatu Diagnosis Okupasi menjadi:
a. Penyakit Akibat Kerja: disini termasuk Occupational Diseases
dan Work Related Diseases
b. Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan: ada unsur pajanan di lingkungan kerja dan juga di luar lingkungan kerja dan atau faktor individu pekerja
c. Bukan Penyakit Akibat Kerja; hanya ada unsur pajanan di luar lingkungan kerja dan faktor individu pekerja
d. Masih memerlukan data tambahan, artinya belum final dan masih memerlukan pemeriksaan tambahan untuk dapat menentukan hasil akhir
Referensi
a. Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus diagnosis okupasi sebagai penentuan penyakit akibat kerja. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 2011.
b. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62.
c. Levy Barry S and Wegman David H. Occupational Health: Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury. USA: Lippincott Williamas and Wilkins, 2000.
d. World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. World Health Organization, 1993.
e. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and Medical Director, in Occupational Health Service : Practical Strategis Improving Quality dan Controlling Costs. American Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
f. ILO. Ethical Issue in ILO Encyclopaedi. 2000: 19.1- 30
g. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan__Peraturan Perundangan Kesehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri. Jakarta 1999.
h. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek. Jakarta. 2003
i. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman Diagnosis dan Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. 2003
j. WHO. International Classification of Functioning, Disability and Health. Geneva
k. Dep. IKK FKUI dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia.
Kurikulum PPDS Kedokteran Okupasi Indonesia. Jakarta. 1998
l. Kompetensi dokter pemberi pelayanan kesehatan kerja dan kedokteran okupasi, Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 1998.
m. La Dou, Current Occupational and Environmental Medicine, Lange Medical Books/ Mc Graw Hill, , 2004
n. Zens Dickerson Novark, Occupational Medicine
o. National Institute for Occupational and Safety and Health, University of Medicine and Dentistry of New Jersey. NIOSH Spirometry training Guide. December 2003.
p. Maizlish, Neil A., ed. Workplace Health Surveillance, An Action- Oriented Approach, Oxford University Press, Inc. New York, 2000
q. Newkirk W.L.ed., Occupational Health Services , Practical Strategies for Improving Quality and Controlling Costs, American Hospital Publishing Inc. USA, 1993.
r. Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Laporan survey tahun 2007-2009. Jakarta, Desember 2010.
s. Direktorat Kesehatan kerja dan olah raga Kementerian Kesehatan RI dan PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK. Jakarta, April 2011.
t. Soemarko DS. Stress at the workplace in Indonesia. Malindobru. Jakarta, Juli 2009.
u. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Kumpulan abstrak penelitian Kedokteran Kerja tahun 2008. Jakarta.
- Surveilans
Tingkat Kompetensi: 4A Pendahuluan
Seorang dokter dituntut untuk meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Oleh karena itu perlu adanya suatu keterampilan untuk memperoleh informasi akurat bersinambung tentang berbagai permasalahan di wilayahnya agar dapat dilakukan pengendalian terhadap permasalahan kesehatan tersebut sesuai dengan sumber daya setempat. Keterampilan yang dimaksud adalah untuk dapat melaksanakan kegiatan surveilans.
Pengertian | |||
Surveilans | adalah | suatu kegiatan | pengamatan permasalahan |
kesehatan | secara | terus menerus | untuk mempelajari trend |
permasalahan kesehatan di wilayah tertentu secara bersinambung.
Sesuai diagram di atas, kegiatan survailans adalah sebuah kegiatan yang dimulai dari pengumpulan data. Data yang terkumpul di analisis, diinterpretasi dan di diseminasi ke pihak yang berwenang membuat kebijakan. Hasil survailans kemudian digunakan untuk membuat sebuah program aksi kesehatan masyarakat yang terdiri dari proses perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Beberapa jenis survailans seperti:
a. Sentinel survaillance
Sampel dari fasilitas kesehatan dan laboratorium di beberapa lokasi yang yang melaporkan semua kasus dari sebuah kondisi yang mengindikasikan tren di populasi
Contoh : Jaringan laboratorium mikrobiologi yang bekerjasama melaporkan penemuan kuman difteri
b. Household survaillance
Sampel acak dari rumah tangga yang mewakili populasi untuk memonitor secara konsisten dan peridik (3-5 tahun sekali) tentang sebuah kondisi kesehatan
Contoh : Survey kesehatan rumah tangga
c. Laboratory-based survaliance
Penggunaan laboratorium sentral di sebuah negara untuk identifikasi adanya strain baru dari sebuah wabah secara cepat Contoh : CDC di Amerika, PulseNet di Eropa dan Canada
d. Integrated disease survailance and rersponse (IDSR)
Sistem yang terintegrasi dari sebuah negara untuk memantau kondisi kesehatan. WHO membantu beberapa negara membangun sistem ini
Tujuan
Survailans bertujuan memonitor kondisi kesehatan dengan tujuan untuk :
a. Memantau dan memprediksi trend permasalahan kesehatan masyarakat (morbiditas, mortalitas, penggunaan obat, efektivitas obat, dan efek samping pengobatan, penggunaan vaksin, serta data-data lingkungan
b. Memiliki data sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan masyarakat
c. Mendeteksi perubahan cepat yang terjadi di masyarakat tentang sebuah kondisi kesehatan termasuk distribusi kondisi tersebut
d. Mengidentifikasi perubahan pada faktor agent dan host
e. Mengidentifikasi praktek pelayanan kesehatan
Alat dan Bahan
Untuk memerlukan survailans dibutuhkan sumber data (sources of data). WHO membuat daftar data yang dapat digunakan untuk survailans yaitu :
a. Data mortalitas
b. Data morbiditas
c. Data epidemik
d. Data utilisasi laboratorium
e. Data investigasi kasus individual
f. Survei khusus (data rumah sakit, register penyakit dan survei serologis)
g. Informasi tentang vektor dan reservoir hewan
h. Data lingkungan
Referensi
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling, Keterampilan Klinik Dasar FKUI, dokumen tidak dipublikasi, 2009
- Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Tingkat Keterampilan : 4A
Pendahuluan
Pembinaan kesehatan usia lanjut tidak dapat berdiri sendiri mengingat pada Usia Lanjut mengalami multipatologi dan penyebabnyapun multifaktorial. Pembinaan kesehatan ini mencangkup langkah promotif berupa edukasi, langkah preventif berupa pengkajian dengan tujuan menggali masalah kesehatan yang dialami oleh individu, langkah kuratif berupa penatalaksanaan yang bersifat multidisiplin serta langkah rehabilitatif berupa konseling dan langkah lain sesuai masalah.
Pembinaan kesehatan usia lanjut seharusnya diawali dengan pelayanan Pra Lanjut Usia pada individu usia 45-59 tahun. Pelayanan tersebut meliputi :
a. Edukasi tentang penerapan perilaku hidup bersih dan sehat, konsumsi gizi seimbang dan aktifitas sosial.
b. Deteksi dini keadaan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala dengan instrumen KMS Lanjut usia.
c. Pengobatan dengan pola multidisiplin untuk mencegah progresifitas penyakit, sesuai prinsip pengobatan rasional dengan mempertimbangkan gangguan fungsi.
d. Upaya rehabilitatif (pemulihan) berupa upaya medis, psikososial dan edukatif.
Pengkajian Paripurna Pada Lanjut Usia/ Comprehensive Geriatric Assessment (CGA).
Sasaran: dilakukan terhadap pasien lanjut usia yang pertama kali kontak dengan tenaga kesehatan
Tujuan: menentukan permasalahan dan rencana penatalaksanaan terhadap lanjut usia dalam aspek biologis, kognitif, psikologis, dan sosial
Pelaksana: CGA dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh dokter dengan anggota lainnya seperti perawat, tenaga gizi, dan tenaga kesehatan masyarakat terlatih. Tim dapat ditambah sesuai kebutuhan dan tenaga yang tersedia
Pengkajian ini meliputi:
a. Penilaian Kondisi medik
- Identitas
Jati diri pribadi, masalah ekonomi,sosial, lingkungan, dengan siapa pasien tersebut tinggal atau siapakah orang terdekat yang harus dihubungi bila terjadi sesuatu hal, dan lain-lain.
- Anamnesis
a) keluhan utama
b) riwayat penyakit
c) riwayat operasi,
d) riwayat pengobatan (baik dari dokter maupun obat bebas),
e) riwayat penyakit keluarga,
f) anamnesis gizi sederhana
g) anamnesis sistem
- Pemeriksaan fisik
a) pemeriksaan tanda vital,
b) Pemeriksaan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung harus dilakukan pada posisi berbaring dan duduk serta berdiri (bila memungkinkan); hipotensi ortostatik lebih sering muncul pada pasien Lanjut Usia dan geriatri.
c) Pemeriksaan dilakukan menurut sistematika sistem organ mulai dari sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem gastrointestinal, sistem
genitourinarius, sistem muskuloskeletal, sistem hematologi, sistem metabolik endokrinologi, sistem indera dan pemeriksaan neurologik.
b. Penilaian kemampuan fungsional
Pemeriksaan status fungsional dilakukan menggunakan indeks ADL’s Barthel, test up and go. Poin yang dinilai adalah kemampuan seseorang melakukan aktifitas hidup secara mandiri
- Pemeriksaan menggunakan indeks ADL’s Barthel
Pemeriksaan ini dilakukan dengan anamnesis terpimpin Tabel 22. Indeks ADL’s Barthel
No | Kriteria | Dengan****bantuan | Mandiri |
1 | Makan | 5 | 10 |
2 | Aktivitas Toilet | 5 | 10 |
3 | Berpindah dari kursi roda ke tempat tidurdan sebaliknya, termasuk duduk di tempat tidur | 5-10 | 15 |
4 | Kebersihan diri, mencuci muka, menyisirrambut, menggosok gigi | 0 | 5 |
5 | Mandi | 0 | 5 |
6 | Berjalan di permukaan datar | 10 | 15 |
7 | Naik-turun anak tangga | 5 | 10 |
8 | Berpakaian | 5 | 10 |
9 | Mengontrol defekasi | 5 | 10 |
10 | Mengontrol berkemih | 5 | 10 |
Total (maksimal 100)
Penilaian:
0-20 : Ketergantungan
21-61 : Ketergantungan berat/ sangat tergantung 62-90 : Ketergantungan sedang
91-99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri
- TIME UP and GO TEST
Tujuan: untuk menilai mobilitas melengkapi tes dementia Peralatan: stopwatch, kursi yang mempunyai pegangan lengan, penanda (pita atau garis yang ditempel di lantai) sepanjang 3 m
Prosedur:
a) Siapkan penanda berupa garis lurus sepanjang 3 meter
b) Letakkan kursi menghadap penanda
c) Lansia dipersilakan duduk dikursi
d)
KARTU INSTRUKSI
Perintah untuk Lansia :
Bila saya memberi aba-aba Jalan, segera lakukan :
-
Berdiri dari kursi
-
Berjalanlah sepanjang garis penanda (3m)
-
Berbalik arah setelah sampai ujung
-
Berjalan kembali kearah kursi
-
Duduk kembali dengan sempurna
Lansia diperintahkan untuk berdiri dan berjalan menyusuri penanda (sejauh 3 m) dan kemudian berbalik arah kembali kekursi semula sampai duduk kembali. Lihat kartu instruksi berikut:
e) Catat waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan Keterangan
Lanjut Usia menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal) yang sering dipakai, diperbolehkan menggunakan alat bantu ( tongkat, tripod, dll). Pencatatan waktu dimulai bersamaan dengan perintah “jalan...” dan diakhiri saat Lansia duduk kembali dengan sempurna. Observasi yang dapat dilakukan untuk lansia meliputi : stabilitas posisi, langkah (gait), lebar langkah, dan ayunan.
Penilaian
Bila waktu yang diperlukan > 12 detik, maka Lansia memiliki resiko tinggi untuk jatuh
c. Penilaian status psiko-kognitif dan perilaku
Untuk menjaring masalah psiko-kognitif dan perilaku dilakukan pemeriksaan Metode 2 Menit. Bila didapati gangguan mental emosional, maka dilakukan GDS yang merupakan metode skrining depresi, serta MMSE dan AMT (_Abbreviated Mental Tes/ AMT)_sebagai skrining demensia. MMSE dapat ditambahkan dengan Clock Drawing Test (CDT).
- Pemeriksaan Metode 2 Menit
- Skala Depresi Geriatrik 15 (Yesavage)/ Geriatric Depression Scale (GDS)
Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan anda dalam satu minggu terakhir
Tabel 23. Skala Depresi Geriatrik
No Pertanyaan Jawaban
2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan
minat atau kesenangan anda?
Ya / Tidak
4 Apakah anda sering merasa bosan? Ya / Tidak
6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi pada anda?
Ya / Tidak
8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya / Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada keluar dan
mengerjakan sesuatu yang baru ?
10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda dibanding kebanyakan orang?
Ya / Tidak
Ya / Tidak
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan
anda saat ini?
Ya / Tidak
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan?
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada
anda?
Jumlah jawaban yang tercetak tebal
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Cara penghitungan:
a) Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1
b) Hitung jumlah jawaban yang tercetak tebal Penilaian:
c) Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
d) Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
-
MMSE (lihat pada materi Keterampilan Klinik Psikiatri)
-
Abbreviated Mental Test / AMT
Pemeriksaan ini merupakan cara yang cepat untuk mendeteksi demensia pada usia lanjut.
Peralatan: Kuesioner AMT Prosedur
- Lansia diberi 10 pertanyaan, dinilai 1 apabila jawaban benar, dan 0 bila jawaban salah. Lihat daftar pertanyaan dalam kartu kuesioner.
Tabel 24. Kuesioner AMT
No Pertanyaan Skor
2 Sekarang jam berapa?
4 Saat ini tahun berapa?
6 Sebutkan nama 2 orang yang diingat
8 Sebutkan (salah satu) tanggal dari peristiwa penting nasional
10 Hitung mundur dari 20 hingga 1
- Dihitung total skor lakukan penilaian
Bila skor < 8 curiga ada penurunan kognitif saat dilakukan tes
a) CLOCK DRAWING TEST (CDT)
Clock Drawing Test adalah suatu alat tes yang digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kerusakan fungsi kognitif. CDT menggambarkan proses fungsi kognitif secara multipel termasuk kemampuan untuk mendengar instruksi.
Peralatan: kertas putih kosong ukuran 8,5 x 11 inch, kertas dengan gambar jam, pensil/pulpen, meja atau kursi untuk memudahkan menggambar.
Prosedur:
-
Siapkan peralatan
-
Lansia diperintahkan untuk menggambar lingkaran jam dan menulis angkanya.
-
Lansia diperintahkan untuk menggambar posisi jarum sesuai dengan instruksi (umumnya instruksi menggambar pukul 11.10).
Tabel 25. Clock Drawing Test
Item | Tes | Nilai Nilai****maks |
1 | Menggambar lingkaran jam. | 1 |
2 | Menulis angka jam yang | 1 |
3 | benar. | 1 |
4 | Meletakkan angka-angka | 1 |
jam yang benar. | ||
Menunjukkan arah jarum | ||
jam yang benar | ||
Skor total | 4 |
Keterangan: lansia menggambar menggunakan tangan yang dominan (left hand/right hand)
Penilaian
Skor = 4 Normal
Skor < 4 Gangguan fungsi kognitif
b) Penilaian Status gizi menggunakan lembar catatan asupan makanan, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan Mini Nutritional Assesment (MNA)
Gambar 164. Alur dan prosedur pelayanan kesehatan gizi Lansia
· IMT (Lihat pada materi Keterampilan klinik Metabolik, endokrin, dan Nutrisi)
Tabel 26. Mini Nutritional Assessment/ MNA
A Terjadi penurunan asupan makanan dalam 3 bulan terakhir karena hilangnya nafsu makan, masalah pencernaan, gangguan dalam menelan atau mengunyah
0 = penurunan asupan makanan berat
1 = penurunan asupan makanan sedang
2 = tidak ada penurunan asupan makanan
C Mobilitas
0 = tidak mampu bangkit dari kursi atau tempat tidur
1 = mampu bangkit dari kursi atau tempat tidur
2 = tidak ada gangguan
E Masalah neuropsikologi
0 = demensia berat atau depresi berat
1 = demensia ringan
2 = tidak ada masalah psikologis
Bila nilai IMT tidak tersedia, gunakan item no F2.
Bila nilai IMT tersedia, maka jangan menjawab item no F2
Skor skrining (maksimal 14 poin) 12- 14 = Status nutrisi normal
8 -11 = Beresiko malnutrisi
**0-**7 = Malnutrisi
d. Pemeriksaan status psikososial
Perubahan status psikososial yang sering terjadi pada lanjut usia adalah mature, dependent, self hater, angry, angkuh
e. Pemeriksaan status sosial
-
Menilai perlakuan orang-orang yang ada di sekitarnya yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik dan mental lanjut usia seperti perlakuan yang salah terhadap lanjut usia (mistreatment/abuse), dan menelantarkan lanjut usia (neglected).
-
Menilai potensi keluarga yang dapat dimanfaatkan untuk membantu pemulihan pasien.
f. Pemeriksaan laboratorium sederhana
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah:
-
Darah Rutin, meliputi Hemoglobin, Eritrosit, Lekosit, Trombosit, Hitung jenis
-
Kimia darah, diantaranya Gula darah sewaktu
-
Urin Rutin
(Lihat pada materi Keterampilan Pemeriksaan Laboratorium)
Hasil Pengkajian Paripurna tersebut di atas, dapat ditemukan satu atau beberapa gangguan fisik (karakter 1-11) dari 14 karakter geriatrik berikut:
a. intelectual impairment (gangguan fungsi kognitif);
b. insomnia (gangguan tidur);
c. impairment of senses (gangguan fungsi panca indera);
d. immune deficiency (gangguan sistem imun);
e. infection (infeksi);
f. inanition (gangguan gizi);
g. impaction (konstipasi);
h. inkontinensia urin (mengompol);
i. impotence (gangguan fungsi seksual)
j. instabilitas postural (jatuh dan patah tulang);
k. immobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak);
l. iatrogenik (masalah akibat tindakan medis);
m. isolation (isolasi/menarik diri);
n. impecunity (berkurangnya kemampuan keuangan);
Enam dari 14 karakter tersebut (yakni: imobilisasi, instabilitas postural, intelectual impairment dalam hal ini delirium dan demensia, isolasi karena depresi, dan inkontinensia urin) merupakan kondisi– kondisi yang paling sering menyebabkan pasien geriatri harus dikelola lebih intensif yang sering dinamakan geriatric giants.
Selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasarkan tingkat kemandirian dalam rangka penentuan tatalaksana. Kelompok tersebut adalah:
a. Lanjut Usia sehat dan mandiri;
b. Lanjut Usia sehat dengan ketergantungan ringan;
c. Lanjut Usia sehat dengan ketergantungan sedang;
d. Lanjut Usia dengan ketergantungan berat/ total;
e. Lanjut Usia pasca-rawat (dua minggu pertama);
f. Lanjut Usia yang memerlukan asuhan nutrisi; atau
g. Lanjut Usia yang memerlukan pendampingan (memiliki masalah psiko-kognitif).
Berdasarkan kelompok tersebut akan dilakukan program yang sesuai bagi Lanjut Usia tersebut, meliputi:
a. Kelompok 1 dan 2 dapat langsung mengikuti Program Lanjut Usia berkala di fasyankes.
b. Kelompok 3 dan 4 perlu mengikuti program layanan perawatan di rumah (home care service) dan bila perlu dapat melibatkan pelaku rawat/ pendamping (caregiver) atau dirujuk ke RS.
c. Kelompok 5, 6, dan 7 dilakukan secara khusus dalam pengawasan dokter.
Tatalaksana
Keterampilan klinik pada pelayanan bagi Lanjut Usia Sehat
Sasaran: lanjut usia berdasarkan hasil pengkajian paripurna geriatri masuk dalam kategori kelompok 1 dan 2 yaitu lanjut usia yang bebas dari ketergantungan kepada orang lain atau tergantung pada orang lain tapi sangat sedikit, atau mempunyai penyakit yang terkontrol dengan kondisi medik yang baik.
Langkah promotif berupa edukasi PHBS, konsumsi gizi seimbang, dan aktifitas sosial, Latihan fisik (senam Lanjut Usia, senam osteoporosis dll)
Langkah preventif berupa edukasi Latihan fisik sesuai kebutuhan individu/ kelompok, Stimulasi kognitif
Keterampilan klinik pada pelayanan bagi Lanjut Usia Sakit
Sasaran: Pasien geriatri yaitu: multipatologi, tampilan gejala dan tanda tak khas, daya cadangan faali menurun, biasanya disertai gangguan status fungsional dan di Indonesia pada umumnya dengan gangguan nutrisi.
Penatalaksanaan sesuai kondisi patologis yang ada Penghitungan kebutuhan energi dan gizi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian gizi pada Lanjut Usia yaitu adanya perubahan fisiologik, penyakit penyerta, faktor sosial seperti kemiskinan, psikologik (demensia depresi) dan efek samping obat.
Energi
Kebutuhan energi menurun dengan meningkatnya usia (3% per dekade). Pada Lanjut Usia hal tersebut diperjelas disebabkan adanya penurunan massa otot (BMR ¯) dan penurunan aktivitas fisik. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004; laki-laki 2050 Kal dan perempuan 1600 Kal.
Untuk perhitungan yang lebih tepat dapat digunakan persamaan Harris Benedict ataupun rumus yang dianjurkan WHO. Secara praktis dapat digunakan perhitungan berdasarkan rule of thumb
Protein
Kandungan protein dianjurkan sesuai kecukupan antara 0,8-1 g/kgBB/hari (10-15%) dari kebutuhan energi total.
Karbohidrat
Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total sehari, dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada karbohidrat sederhana.
Konsumsi serat dianjurkan 10-13 g per 1000 kalori (25g/hari ~ 5 porsi buah dan sayur). Buah dan sayur selain merupakan sumber serat, juga merupakan sumber berbagai vitamin dan mineral.
Lemak
Kandungan lemak dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan diutamakan berasal dari lemak tidak jenuh.
Cairan
Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya perubahan mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan tubuh total (dikarenakan penurunan massa bebas lemak). Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada tidaknya penyakit yang memerlukan pembatasan air seperti gagal jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang disertai edema maupun asites.
Vitamin
Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan memperlambat proses degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila asupan tidak adekuat perlu dipertimbangkan suplementasi; namun harus dihindari pemberian megadosis.
Tabel 27. Kebutuhan vitamin larut lemak
A (RE) | D (mcg) | E (mg) | K (mcg) | |
Laki-laki> 65 th | 600 | 15 | 15 | 65 |
Perempuan> 65 th | 500 | 15 | 15 | 55 |
Tabel 28. Kebutuhan vitamin larut air
Thiam in**(mg)** | Riboflavi n**(mg)** | Niacin (mg) | B12(mcg) | As. folat**(mcg)** | B6(mg) | C**(mg)** | |
Laki-laki> 65 th | 1,0 | 1,3 | 16 | 2,4 | 400 | 1,7 | 90 |
Perempuan> 65 th | 1,0 | 1,1 | 14 | 2,4 | 400 | 1,5 | 75 |
Beberapa vitamin perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan sering terjadi defisiensi (vitamin B12, D) dan sifat sebagai antioksidan (vitamin C dan E).
Tabel 29. Kebutuhan beberapa mineral
Ca**(mg)** | P**(mg)** | Fe**(mg)** | Zn**(mg)** | I**(mcg)** | Se**(mcg)** | |
Laki-laki> 65 th | 800 | 600 | 13 | 13,4 | 150 | 30 |
Perempuan> 65 th | 800 | 600 | 12 | 9,8 | 150 | 30 |
Beberapa mineral yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain
-
Ca. Kemampuan absorpsi Ca menurun baik pada laki-laki maupun perempuan 2) defisiensi Zn mengakibatkan gangguan imun dan gangguan pengecapan (yang memang menurun pada Lanjut
Usia) 3) defisiensi Cu dapat mengakibatkan anemia. 4) Se karena bersifat antioksidan.
Agar dapat terpenuhi seluruh kebutuhan perlu diperhitungkan kebutuhan energi dan nutrien sesuai dengan kebutuhan tubuh (kuantitatif) dan mengandung seluruh nutrien (kualitatif) yang dikenal sebagai menu makanan seimbang, dan untuk mencapai hal tersebut perlu penganekaragaman makanan yang dikonsumsi.
Konseling tentang aktivitas fisik dan latihan fisik Materi yang dikonselingkan berupa
Persiapan latihan fisik
a. Sebaiknya memakai pakaian olahraga yang tidak tebal, dapat menyerap keringat dan elastis agar pergerakan tidak terganggu (seperti: kaos, training pack).
b. Sebaiknya gunakan sepatu olahraga yang cukup dan sesuai dengan jenis latihannya.
c. Pola hidangan yang dianjurkan menjelang latihan fisik: Minum secukupnya sebelum, selama; dan sesudah latihan; Sebaiknya makan dengan:
Hidangan lengkap 3-4 jam sebelum latihan;
Makanan kecil/ringan seperti biskuit/ roti 2-3 jam sebelum latihan; Makan cair misalnya bubur, jus buah 1-2 jam sebelumnya;
30 menit sebelum latihan dianjurkan minum air saja.
Latihan fisik
Dilakukan hanya pada Lanjut Usia yang sehat atau dengan ketergantungan ringan sesuai skala Barthel
Prinsip – prinsip latihan fisik :
a. Perlu menerapkan prinsip latihan fisik yang baik, benar, terukur, dan teratur guna mencegah timbulnya dampak yang tidak diinginkan.
b. Latihan fisik terdiri dari pemanasan, latihan inti dan diakhiri dengan pendinginan. Pemanasan dan pendinginan berupa peregangan dan relaksasi otot serta sendi yang dilakukan secara hati-hati dan tidak berlebihan.
c. Frekuensi latihan fisik dilakukan 3-5 x/minggu dengan selang 1 hari istirahat.
d. Latihan fisik dilakukan pada intensitas ringan-sedang dengan denyut nadi : 60 – 70 % x Denyut Nadi Maksimal (DNM) . DNM
= 220 – umur.
e. Latihan fisik dilakukan secara bertahap dan bersifat individual, namun dapat dilakukan secara mandiri dan berkelompok
Tahapan latihan fisik Pemanasan (Warming Up)
Berupa latihan fleksibilitas/ kelenturan dan sering disebut sebagai stretching, sehingga digunakan sebagai gerakan awal atau bagian dari pemanasan sebelum akan melakukan latihan inti, dengan cara meningkatkan luas gerak sekitar persendian serta melibatkan tulang dan otot. Peregangan dilakukan:
a. Secara perlahan sampai mendekati batas luasnya gerakan sendi, kemudian ditahan selama 8 hitungan dalam 10 detik dan akhirnya direlaksasikan;
b. Sampai terasa ada regangan yang cukup tanpa ada rasa nyeri.
c. Frekuensi 4 – 5 x/ minggu selama 10 -15 menit dengan melibatkan persendian dan otot-otot tubuh bagian atas, bagian bawah serta sisi kiri dan kanan tubuh;
d. Tanpa memantul
e. Bernapas secara teratur dan tidak dibenarkan untuk menahan napas.
Latihan Inti
Terdiri dari latihan yang bersifat aerobik untuk daya tahan jantung- paru, latihan kekuatan otot untuk daya tahan dan kekuatan otot serta latihan keseimbangan.
Latihan daya tahan jantung-paru :
Latihan aerobik dilakukan berdasarkan frekuensi latihan fisik per minggu, mengukur intensitas latihan fisik dengan menghitung denyut nadi per menit saat latihan fisik. Frekuensi dilakukan 3 – 5 x
/minggu selama 20 – 60 menit, dapat dilakukan dengan interval 10 menit.
a. Senam aerobik 1 x / minggu (kelompok)
Dosis latihan disesuaikan dengan kemampuan sehingga denyut nadi latihan mencapai = 60 – 70 % DNM dan bersifat low impact (gerakan-gerakan yang dilakukan tanpa adanya benturan pada tungkai)
b. Jalan cepat 2 x / minggu (secara kelompok 1x dan secara mandiri 1x)
Latihan dilakukan dengan kecepatan secara bertahap: (untuk
usia ≤ 60 thn)
Tabel 30. Tahapan latihan untuk usia < 60 tahun
Bulan ke- | Jarak (Km) | Waktu tempuh**(menit)** | Frekuensi per sesi latihan | Selang istirahat**(menit)** | Waktu |
I | 1,6 | 25 – 30 | 1 | - | |
II | 1,6 | 25 | 2 | 15 | |
III | 1,6 | 25 | 2 | 10 | |
IV | 1,6 | 25 | 2 | 5 | |
V | 1,6 | 20 | 2 | 10 | |
VI | 1,6 | 20 | 2 | 5 |
Keterangan :
Contoh pada bulan ke 2:
Jalan cepat 1,6 Km dengan waktu tempuh 25 menit, dilakukan 2 x dengan selang waktu istirahat 15 menit . Istirahat dilakukan tidak dalam keadaan duduk, tetapi secara aktif yaitu sambil berjalan pelan atau menggerakkan lengan dan tungkai.
Untuk usia > 60 tahun menggunakan latihan fisik dengan jalan cepat selama 6 menit dengan menghitung jarak tempuh yang dilakukan secara bertahap
Tabel 31. Tahapan latihan untuk usia > 60 tahun wanita
Jalan | 60- | 65– | 70– | 75– | 80– | 85– | 90– |
6 menit | 64 | 69 | 74 | 79 | 84 | 89 | 94 |
Wanita | Thn | Thn | Thn | Thn | Thn | Thn | Thn |
Bulan 1 | 450m | 400m | 350m | 300m | 250m | 200m | 150****m |
Bulan 2 | 500m | 450m | 400m | 350m | 300m | 250m | 200****m |
Bulan 3 | 550m | 500m | 450m | 400m | 350m | 300m | 250****m |
Bulan 4 | 600m | 550m | 500m | 450m | 400m | 350m | 300****m |
Bulan 5 | 650m | 600m | 550m | 500m | 450m | 400m | 350****m |
i
Table 32. Tahapan latihan untuk usia > 60 tahun laki-laki
JalanL6 menitaLaki2t | 60–64****Thn | 65–69****Thn | 70–74****Thn | 75–79****Thn | 80–84****Thn | 85–89****Thn | 90–94****Thn |
Bulan 1 | 500 m | 450 m | 400 m | 350 m | 300 m | 250 m | 200 m |
B****uhlan****2 | 550 m | 500 m | 450 m | 400 m | 350 m | 300 m | 250 m |
Bulan 3 | 600 m | 550 m | 500 m | 450 m | 400 m | 350 m | 300 m |
B****unlan****4 | 650 m | 600 m | 550 m | 500 m | 450 m | 400 m | 350 m |
Bulan 5 | 700 m | 650 m | 600 m | 550 m | 500 m | 450 m | 400 m |
a
Kekuatan Otot :
Latihan kekuatan otot dilakukan berdasarkan jumlah set dan pengulangan gerakan (repetisi) dengan atau tanpa adanya penambahan beban dari luar. Jenis latihan kekuatan otot dapat pula berupa latihan tahanan otot (resistance training). Latihan dilakukan
2 – 3 x/ minggu selama 10 – 15 menit , pada hari saat tidak melakukan latihan aerobik.
Latihan Keseimbangan
Latihan keseimbangan dilakukan dengan melatih tubuh pada posisi tidak seimbang dengan atau tanpa menggunakan alat bantu (kursi). Latihan dilakuan 2 – 3 x/ minggu selama 10 – 15 menit, waktunya setelah latihan kekuatan otot.
Pendinginan ( Warming down)
Dilakukan selama 5 – 10 menit.
Bentuk kegiatan prinsipnya sama dengan kegiatan pemanasan hanya dilakukan dengan perlahan dan pelemasan.
Jenis latihan yang tidak dianjurkan :
Latihan yang bersifat:
Lebih lama dari 60 menit
a. Menahan nafas;
b. Memantul dan melompat;
Latihan beban dengan beban dari luar
a. Mengganggu keseimbangan (berdiri di atas 1 kaki tanpa berpegangan atau tempat latihan tidak rata dan licin);
b. Hiperekstensi leher (menengadahkan kepala ke belakang);
c. Kompetitif atau dipertandingkan;
- Rehabilitasi Medis Tingkat kemampuan: 4A Teknik keterampilan
a. Persiapan peralatan: sesuai dengan metoda asesmen yang dipakai
b. Persiapan Pasien:
-
Menjelaskan kepada pasien tujuan pemeriksaan
-
Menjelaskan tahapan pemeriksaan
-
Menjelaskan efek samping dan komplikasi pemeriksaan (jika ada)
Melakukan pemeriksaan tanda vital dan status generalis
-
Pada pemeriksaan uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi: Longgarkan atau lepaskan pakaian yang menutupi persendian atau bagian tubuh yang akan diperiksa.
-
Pada pemeriksaan uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi: pasien diminta melakukan pemanasan pada sendi yang akan diperiksa.
c. Pelaksanaan pemeriksaan
d. Mendokumentasikan dan menyimpulkan hasil asesmen. Jenis Pemeriksaan Rehabilitasi Dasar
Di bawah ini adalah pemeriksaan Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Umum yang dapat dilakukan dalam pengisian asesmen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dasar. Pemeriksaan dilakukan bila terdapat
indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan, dengan memastikan tidak ada kontraindikasi atau masalah dalam peresepan pemeriksaan.
a. Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas dilakukan untuk memeriksa fungsi modalitas sensorik yaitu rasa raba, rasa posisi, nyeri.
Untuk pemeriksaan sensibilitas pada asesmen KFR sederhana ini, dilakukan dengan menggunakan Nottingham Sensory Assesment.
Indikasi dilakukannya uji sensibilitas
Semua gangguan sistem saraf pusat maupun perifer Kontraindikasi
Tidak ada
Efek samping/komplikasi tindakan Tidak ada
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Dilakukan pada pasien yang kooperatif
-
Pasien tidak memiliki gangguan fungsi luhur
-
Pasien tidak mengalami gangguan pemahaman bahasa Prosedur pemeriksaan akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 1 terlampir**.**
b. Fungsi Kekuatan Otot
Uji kekuatan otot adalah penilaian kekuatan otot menggunakan tangan/manual atau peralatan khusus.
Tujuan uji kekuatan otot adalah untuk menilai adanya gangguan kekuatan otot, sebagai dasar untuk penentuan terapi, atau untuk mengevaluasi hasil terapi. Pada asesmen KFR sederhana, fungsi kekuatan otot diperiksa secara manual dengan menggunakan Manual Muscle Testing (MMT).
Indikasi uji kekuatan otot
-
Pasien dengan kelemahan otot
-
Pasien dengan gangguan muskuloskeletal
-
Pasien dengan gangguan neuromuscular
Kontraindikasi uji kekuatan otot
-
Inflamasi dan pasca bedah akut pada sistem muskuloskeletal
-
Nyeri hebat
-
Gangguan kardiorespirasi
-
Gangguan fungsi luhur
-
Osteoporosis
-
Fraktur
Efek Samping Uji Kekuatan Otot
-
Fraktur
-
Nyeri
-
Cedera otot
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Pasien tidak boleh dalam keadaan lelah
-
Pasien harus mampu memahami instruksi
-
Pemantauan hasil terapi dapat dilakukan setiap minggu atau tergantung kondisi pasien
Prosedur pemeriksaan akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 2 terlampir.
c. Fleksibilitas dan lingkup gerak sendi
Pemeriksaan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi adalah tindakan mengukur kemampuan untuk menggerakan sendi sepanjang lingkup geraknya.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai kelenturan suatu persendian, sebagai upaya diagnostik kondisi klinis suatu gangguan pada persendian, dan evaluasi keberhasilan suatu latihan peregangan.
Untuk pemeriksaan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi pada asesmen KFR sederhana ini, dilakukan dengan menggunakan goniometer, schober test, dan sit and reach test.
Indikasi dilakukannya uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi
-
Evaluasi kondisi yang berpotensi menyebabkan gangguan kelentukan,
-
Evaluasi kondisi keterbatasan lingkup gerak sendi Kontraindikasi uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi
-
Peradangan sendi akut
-
Fraktur di sekitar persendian
-
Pasien tidak kooperatif
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Pasien sudah memungkinkan untuk dilakukan asesmen
-
Pemantauan hasil terapi dapat dilakukan setiap minggu atau tergantung kondisi pasien.
Prosedur masing- masing pemeriksaan akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 3 terlampir.
d. Keseimbangan
Keseimbangan atau balance adalah mekanisme tubuh untuk menghindari jatuh atau kehilangan keseimbangan.
Tujuan asesmen adalah untuk menilai adanya masalah keseimbangan.
Asesmen keseimbangan pada pemeriksaan KFR sederhana dilakukan dengan menggunakan berg balance scale dan pediatric balance scale.
Indikasi Uji keseimbangan
Gangguan keseimbangan, misalnya pada:
-
Cerebral Palsy
-
Gangguan muskuloskeletal
-
Gangguan neuromuskular
-
Gangguan sensoris
-
Gangguan keseimbangan
Kontraindikasi uji keseimbangan
-
Pasien dengan gangguan kesadaran
-
Pasien dengan afasia sensorik
-
Pasien dengan demensia
-
Pasien dengan gangguan penglihatan yang tidak terkoreksi
-
Pasien yang tidak kooperatif
Efek samping/komplikasi tindakan: tidak ada Efek samping/ komplikasi uji postur kontrol Jatuh
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Pasien sudah memungkinkan untuk dilakukan asesmen
-
Pemantauan hasil terapi dapat dilakukan tergantung kondisi pasien.
Prosedur berg balance scale akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 4 terlampir.
e. Fungsi Lokomotor dan fungsi jalan
Sistem lokomotor merupakan istilah lain dari sistem muskuloskeletal. Sistem ini bertanggung jawab terhadap munculnya respon gerak otot yang diakibatkan perangsangan sistem saraf. Sistem lokomotor berperan penting untuk menunjang fungsi seseorang disamping kapasitas fisik dan kebugaran.
Tujuan uji fungsi lokomotor adalah untuk menegakkan diagnosis fungsi sistem lokomotor, dan mengetahui defisit fungsi aktivitas kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh gangguan fungsi lokomotor.
Pemeriksaan fungsi lokomotor pada asesmen KFR sederhana dilakukan dengan menggunakan timed up and go test.
Indikasi: bila ditemukan kelainan fungsi lokomotor
Kontraindikasi
-
Penurunan kesadaran
-
Pasien tidak kooperatif
-
Nyeri hebat pada pemeriksaan muskuloskeletal
-
Fraktur
Efek samping/komplikasi tindakan
Nyeri, karena beberapa tindakan bersifat uji provokatif
Timed up and go test akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 5 terlampir_._
f. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari
Assesmen aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) merupakan pemeriksaan kemampuan fungsional seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-harinya termasuk kemampuan merawat diri dan menjalankan aktivitas dengan atau tidak menggunakan alat, yang sesuai dengan usia, pendidikan, pekerjaanya sebelum sakit.
Tujuan dilakukan pemeriksaan adalah untuk menentukan adanya gangguan kemampuan fungsional dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan perawatan diri,
menentukan tingkat disabilitas pasien, dan memonitor keberhasilan terapi.
Aktivitas kehidupan sehari- hari diukur dengan menggunakan
barthel__index.
Indikasi
-
Pasien dengan gangguan neurologis yang berisiko mengalami gangguan fungsional
-
Pasien dengan tirah baring lama
-
Pasien geriatri
-
Pasien dengan cedera musculoskeletal
-
Pasien dengan gangguan fungsi luhur Kontraindikasi: tidak ada
Efek samping/komplikasi tindakan: tidak ada
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Pasien sudah memungkinkan untuk dilakukan asesmen
-
Pemantauan hasil terapi dapat dilakukan setiap minggu atau tergantung kondisi pasien.
Prosedur pemeriksaan akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan 6 terlampir.
g. Fungsi komunikasi dan kognitif
Pemeriksaan uji fungsi komunikatif dan kognitif dilakukan untuk membantu memahami proses patologis pada susunan saraf pusat yang dapat mendasari gangguan kognisi, menapis pasien yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis, menyediakan informasi yang bermanfaat bagi progam rehabilitasi pasien, dan memahami masalah motivasi dan emosi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Fungsi komunikasi dan kognitif pada pemeriksaan KFR sederhana dilakukan dengan Mini Mental-State Examination (MMSE).
Indikasi uji fungsi komunikasi dan kognitif
Pasien dengan kecurigaan gangguan fungsi komunikasi atau kognitif
Kontra Indikasi uji fungsi komunikasi dan kognitif
-
Pasien dengan penurunan kesadaran
-
Pasien tidak kooperatif
Efek Samping/komplikasi: tidak ada
Syarat pasien untuk pemeriksaan
-
Pasien sudah memungkinkan untuk dilakukan asesmen
-
Pemantauan hasil terapi dapat dilakukan setiap minggu atau tergantung kondisi pasien.
h. Fungsi menelan
Uji fungsi menelan adalah penilaian fungsi menelan fase orofaring yang dapat dilakukan secara klinis atau dengan alat.
Tujuan uji fungsi menelan adalah untuk penapisan ada tidaknya gangguan menelan, pengumpulan informasi tentang kemungkinan etiologi gangguan menelan terkait anatomi dan fisiologinya, mencari adanya resiko aspirasi, menentukan manajemen nutrisi alternatif(jika diperlukan), merekomendasikan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa ataupun penatalaksanaan gangguan menelan, untuk menilai hasil terapi.
Untuk pemeriksaan KFR sederhana pada fungsi menelan, dilakukan secara klinis dengan menggunakan dysphagia self test dan Toronto bedside swallowing screening test.
Indikasi uji fungsi menelan
-
Gangguan neurologis
-
Defisit struktural seperti cleft palate atau kelainan kongenital pada organ
-
Kranio-maksilofasial, divertikula, surgical ablations.
-
Cedera saraf kranial
-
Riwayat menderita keganasan nasofaring, gaster dan esophagus
-
Riwayat menggunakan selang nasogastrik atau gastrostomi
-
Gangguan bicara: pelo, suara serak, suara sengau
-
Pasien dengan gejala klinis sebagai berikut: ngeces(drooling), sulit mengunyah makanan berserat, makanan atau saliva terkumpul di pipi, sulit menelan makanan cair, berkurang atau menghilangnya daya pengecapan, rongga hidung terasa terbakar/panas, tersedak atau ada perasaan tercekik waktu menelan, melakukan gerakan yang berlebihan atau berusaha keras untuk menelan, makanan yang ditelan keluar melalui lubang hidung, sering mengalami infeksi saluran pernafasan, ada perasaan makanan tersangkut di saluran cerna, sulit menelan karena tenggorokan kering/air liur berkurang.
Kontraindikasi uji fungsi menelan
-
Kesadaran menurun
-
Gangguan berbahasa reseptif
-
Gangguan fungsi luhur/kognitif
-
Pasien tidak kooperatif
Lebih lanjut mengenai prosedur kedua pemeriksaan akan dibahas pada penjelasan 7 terlampir.
- Rehabilitasi Sosial Bagi Individu, Keluarga dan Masyarakat Tingkat kemampuan: 4A
Pendahuluan
Seorang pasien yang mengalami masalah kesehatan yang berat atau yang kronis, memerlukan suatu penatalaksanaan yang memungkinkan pasien tersebut kembali di tengah lingkungan sosialnya dan berfungsi sebagaimana/ sedekat mungkin seperti sebelum sakit. Rehabilitasi bukan hanya dari sudut fisis, namun perlu dari sudut mental dan sosial. Rehabilitasi sosial sangat membutuhkan motivasi yang tinggi dari individu, dukungan dari lingkungan sosial mulai dari pasangan, anggota keluarga dan komunitas sosial (komunitas sosial di sekitar pasien, maupun
komunitas yang dapat terhubung dengan media masa atau media sosial)
Tujuan
a. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi individu yang berusia 17 tahun ke atas untuk kembali pada keadaan keseharian sebelum sakit dalam rangka menjamin kualitas hidup individu
b. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi keluarga setelah adanya individu dalam keluarga yang mengalami masalah kesehatan
c. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi masyarakat setelah pengalaman masalah kesehatan luar biasa
Alat dan bahan yang diperlukan:
a. Rekam medis berisi kondisi fisik, mental dan sosial pasien
b. Rekam medik keluarga berisi dinamika keluarga dan fungsi- fungsi dalam keluarga
c. Ruang konseling individual dengan penataan kursi seperti pada gambar 165
d. Ruang konseling keluarga dengan penataan kursi seperti pada gambar 166
e. Ruang penyuluhan masyarakat dengan audiovisual yang memungkinkan dan sesuai
f. Kolaborasi antar petugas kesehatan yang saling mendukung
Gambar 165. Dokter dan pasien berhadapan tanpa dibatasi meja namun meja diletakkan di sebelah kanan dokter agar mudah mencatat. Meja dipindahkan ke sebelah kiri dokter bila dokter kidal.
Gambar 166. Susunan kursi untuk pertemuan keluarga. Semua peserta saling dapat memandang. Di belakang dokter adalah papan tulis untuk mencatat tujuan pertemuan hari ini.
Teknik keterampilan
a. Dokter melaksanakan konseling dengan pasien terkait kekuatiran, harapan, keluhan, pemberdayaan, tanggungjawab pribadi, dan keadaan lingkungan mengenai arti hidup selanjutnya dari kacamata pasien.
b. Langkah-langkah konseling pada rehabilitasi medik:
-
Menyapa pasien dan menanyakan namanya
-
Memperkenalkan diri serta memberitahukan perannya
-
Menjelaskan tujuan pertemuan, yaitu merencanakan penatalaksanaan rehabilitasi sosial
-
Menetapkan tujuan rehabilitasi bagi pasien
a) apakah rehabilitasi yang akan dilakukan berarti bagi pasien,
b) apa saja fokus yang harus diperhatikan untuk dilakukan,
c) apa saja tantangan yang ada dan yang mungkin dicapai,
d) apa rencana jangka pendek dan jangka panjang
- Menetapkan hasil diskusi saat ini:
a) menyusun jadwal dan target setiap titik di jadwal
b) peran serta pasien dan keluarga dalam penatalaksanaan rehabilitasi sosial
-
Menjelaskan keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif tersebut
-
Mencek kembali pemahaman pasien/keluarga tentang:
a) proses pencapaian target rehabilitasi
b) bagaimana memperoleh penjelasan yang diperlukan setiap saat
c) siapa yang akan berpartisipasi dan mendukung pencapaian target
-
Memberikan penjelasan yang terorganisir dengan baik
-
Memberi kesempatan/waktu kepada pasien untuk bereaksi terhadap penjelasan dokter (berdiam diri sejenak)
-
Mendorong pasien untuk menyampaikan reaksinya, keprihatinannya serta perasaannya
-
Menyampaikan refleksi terhadap keprihatinan, perasaan dan nilai-nilai pasien
-
Mendorong pasien untuk menentukan pilihannya
-
Membuat perencanaan untuk tindak lanjut
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat konseling:
-
Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, tidak menggunakan jargon medik dan kalimat yang membingungkan
-
Merefleksi komunikasi non-verbal pasien dengan tepat
-
Berempati dalam menyampaikan apresiasi terhadap perasaan atau kesulitan pasien
-
Menunjukkan perilaku non-verbal yang baik (kontak mata, posisi dan gerak tubuh yang sesuai, ekspresi wajah, suara –termasuk kecepatan dan volume)
-
Menyatakan dukungan kepada pasien (menyampaikan keprihatinan, pengertian, dan keinginan untuk membantu)
c. Dokter mengevaluasi pencapaian pasien dan keluarga
-
Sebagaimana rehabilitasi medik, perencanaan rehabilitasi sosial mulai dilaksanakan begitu pasien memulai terapi untuk masalah kesehatannya, tidak usah menunggu hingga keadaan stabil atau sembuh (kalau pasien dirawat di rumah sakit, pembicaraan rehabilitasi sosial tidak usah menunggu hingga pasien boleh pulang, dan rehabilitasi sosial dimulai begitu pasien keluar dari rumah sakit)
-
Sebagai dokter, evaluasi rehabilitasi sosial bersamaan dengan evaluasi rehabilitasi medik.
a) Dokter menjadi pemimpin rehabilitasi sosial dan medik sekaligus.
b) Perhatikan apakah tujuan rehabilitasi sosial dapat tercapai dengan keadaan fisik dan mental pada saat target yang seharusnya dicapai.
Referensi
c) Evaluasi dilakukan sesuai perencanaan, yaitu evaluasi jangka pendek, mingguan, dan evaluasi jangka panjang, bulanan, atau setiap 3 bulan.
d) Pokok-pokok pemikiran yang dievaluasi:
(1) Pengukuran aktifitas kehidupan dalam keseharian
(2) Fungsi fisis
(3) Fungsi kognitif
(4) Kemampuan berkomunikasi
(5) Optimis dalam strategi untuk meminimalkan kecacatan dan memaksimalkan fungsi keseharian
(6) Menghadapi kematian
(7) Ketergantungan
(8) Pelayanan kesehatan dari klinik/puskesmas/rumah sakit
(9) Lamanya perawatan di rumah sakit dan/atau di rumah
(10) Akibat program rehabilitasi terhadap mood/depresi pasien
(11) Kepuasan pasien dan pelaku rawat
(12) Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan pasien
(13) ceklis ‘Quality Adjusted Life-Yyears’ (QALY)
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling, Keterampilan Klinik Dasar FKUI, dokumen tidak dipublikasi, 2009