Sistem Indera
Indera Penglihatan
- Penilaian Penglihatan Pada Bayi Dan Anak Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai penglihatan pada bayi dan anak Alat dan Bahan
a. Pen light
b. Boneka atau mainan bayi yang tidak menimbulkan suara
c. Kartu bergambar (Allen chart) atau kartu Snellen “E”
Teknik Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Mata pada Bayi
-
Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
-
Bangunkan bayi, redupkan cahaya pada ruang periksa dan pegang bayi pada posisi duduk, maka pemeriksa akan mendapatkan mata bayi terbuka.
-
Pada saat bayi membuka matanya dan menatap pemeriksa, pemeriksa dapat bergerak ke sisi kanan dan kiri sehingga bayi memutar kepalanya sampai dengan 90o pada setiap sisinya. Pemeriksa juga dapat menggunakan pen light atau
mainan yang tidak menimbulkan suara untuk menarik perhatian bayi.
- Deskripsi tajam penglihatan berupa refleks kedip (blink refleks), menatap cahaya (fix the light), menatap dan mengikuti arah cahaya (fix and follow the light).
b. Pemeriksaan Mata pada Batita
-
Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
-
Posisikan anak pada meja periksa atau kursi periksa.
-
Tutup salah satu mata anak secara bergantian.
-
Amati respon anak.
-
Selain itu dapat menggunakan benda untuk menilai tajam penglihatan anak
-
Deskripsi tajam penglihatan berupa menatap dan mengikuti arah benda (fix and follow object), mengambil benda (grab object)
c. Pemeriksaan Mata pada Anak
-
Kartu Snellen/E chart/Allen chart diletakkan sejajar mata pasien dengan jarak 5-6 m dari pasien sesuai kartu yang dipakai.
-
Tajam penglihatan diperiksa satu per satu (monokuler), dimulai dari mata kanan.
-
Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan atau menggunakan penutup mata atau menggunakan eye occluder.
-
Pasien diminta untuk melihat objek pada kartu bergambar atau kartu Snellen “E” dari yang terbesar hingga yang terkecil sesuai batas kemampuannya.
-
Minta pasien menyebutkan nama gambar yang ditunjuk pada kartu bergambar atau menyebutkan arah huruf “E” pada kartu Snellen.
-
Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai dengan setengah jumlah huruf/gambar pada baris tersebut.
-
Bila jumlah kesalahannya setengah atau lebih, maka visusnya menjadi visus baris diatasnya.
Analisis Hasil Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Mata pada Bayi
Normalnya pada pemeriksaan ini bayi akan mengikuti arah pergerakan pemeriksa, sumber cahaya, maupun mainan yang menarik perhatiannya. Apabila bayi yang baru lahir gagal untuk memandang pemeriksa dan mengikuti pergerakan pemeriksa, maka perhatikan pada pemeriksaan mata lainnya. Hal ini masih dapat terjadi pada bayi normal, namun dapat juga merupakan tanda kelainan visual.
Pemeriksa tidak akan dapat menilai tajam penglihatan pada bayi kurang dari 1 tahun. Selama tahun pertama kehidupan, tajam penglihatan bayi akan meningkat sehingga kemampuan untuk memfokuskan mata juga meningkat.
b. Pemeriksaan Mata pada Batita
Tajam penglihatan pada balita tidak dapat dinilai karena balita belum dapat mengidentifikasi gambar pada kartu Snellen. Pemeriksa menutup salah satu mata dapat menjadi alternatif. Anak dengan penglihatan yang normal pada kedua mata tidak akan menolak bila salah satu matanya ditutup, sedangkan anak dengan gangguan penglihatan akan menolak bila matanya yang sehat ditutup.
c. Pemeriksaan Mata pada Anak
Interpretasi sama dengan interpretasi pemeriksaan visus pada dewasa.
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
- Penilaian Refraksi Atau Tajam Penglihatan Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai tajam penglihatan Alat dan Bahan
a. Ruangan sepanjang 6 m atau disesuaikan dengan jenis chart
b. Penerangan yang cukup
c. Kartu Snellen
d. Penggaris/alat penunjuk
e. Pen light
Teknik Pemeriksaan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Kartu Snellen diletakkan sejajar mata pasien dengan jarak 5-6 m dari pasien sesuai kartu Snellen yang dipakai.
c. Tajam penglihatan diperiksa satu per satu (monokuler), dimulai dari mata kanan.
d. Pada saat memeriksa maka kanan, pasien diminta menutup mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan, atau bisa dengan menggunakan eye occlude.
e. Pasien diminta untuk melihat objek pada kartu Snellen dari yang terbesar hingga yang terkecil sesuai batas kemampuannya.
f. Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai dengan setengah jumlah huruf/gambar pada baris tersebut.
g. Bila jumlah kesalahannya setengah atau lebih, maka visusnya menjadi visus baris diatasnya.
h. Bila pasien tidak dapat melihat huruf yang terbesar (dengan visus 6/60) maka dilakukan dengan cara hitung jari/ finger counting, yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1-6 m dengan visus 1/60 sampai dengan 6/60.
i. Bila tidak dapat menghitung jari dari jarak 1 m, maka dilakukan dengan cara hand movement, yaitu menentukan arah gerakan tangan pemeriksa (atas-bawah, kanan-kiri) pada jarak
60-100 cm. Visus 1/300 bila pasien bisa mengenali arah pergerakan tangan.
j. Bila pasien tidak dapat melihat arah gerakan tangan, dilakukan cara penyinaran dengan penlight pada mata pasien (light perception). Pasien diminta menentukan arah datangnya sinar (diperiksa dari 6 arah). Bila pasien dapat mengenali adanya cahaya dan dapat mengetahui arah cahaya, tajam penglihatan dideskripsikan sebagai 1/~ dengan proyeksi cahaya baik (light perception with good light projection). Tetapi bila pasien tidak dapat mengetahui arah cahaya deskripsi menjadi light perception without light projection.
k. Pasien dinyatakan buta total (visus 0) bila tidak dapat menentukan ada atau tidak ada sinar (no light perception).
Analisis Hasil Pemeriksaan
a. Visus pasien adalah baris huruf terkecil yang pasien dapat sebutkan dari seluruh huruf/gambar pada kartu Snellen dengan benar. Contoh: visus 6/18.
b. Bila pasien dapat melihat huruf pada baris tersebut namun ada yang salah, dinyatakan dengan “f” (faltive). Contoh: pasien dapat membaca baris 6/18 tetapi terdapat satu kesalahan maka visus 6/18 f1.
c. Bila pasien dapat menghitung jari pemeriksa yang berjarak 1 m dari pasien dengan benar, maka visus pasien 1/60; dapat menghitung jari pada jarak 2 m dengan benar, visusnya 3/60, dan seterusnya hingga 6/60.
d. Bila pasien dapat menentukan arah gerakan tangan pemeriksa dari jarak 1 m, maka visusnya 1/300.
e. Bila pasien dapat menentukan arah datangnya sinar (diperiksa dari 6 arah), maka visusnya 1/~ proyeksi baik.
f. Bila pasien tidak dapat menentukan arah datangnya sinar, maka visusnya 1/~ proyeksi buruk.
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
- Pemeriksaan Lapang Pandang Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai lapang pandang dengan donders’ confrontation test
Alat dan Bahan
a. Kursi periksa
b. Penerangan yang cukup Teknik pemeriksaan
a. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan dengan lutut pemeriksa hampir bersentuhan dengan lutut pasien. Tinggi mata pemeriksa sejajar dengan pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai dengan mata kanan.
c. Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan atau menggunakan penutup mata. Sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya dengan penutup mata (eye occlude/patching). Begitupun sebaliknya untuk memeriksa mata kiri.
d. Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner antara lutut pasien dan pemeriksa (a b c d). Jarak antara bidang imajiner ini dengan mata pemeriksa sama dengan jarak bidang imajiner dengan mata pasien. Pada bidang ini lapang pandang pemeriksa (p o’ q) dan pasien (p o q) saling bertumpuk.
e. Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta untuk memfiksasi pandangannya kedepan.
f. Pemeriksa menempatkan satu tangannya di bidang imajiner tersebut pada kuadran temporal atas dan tangan lainnya pada tengah kuadran bawah hidung. Kemudian pemeriksa menggerakkan kedua tangannya tersebut dari tepi ke tengah bidang lapang pandang. Saat melakukan ini, pemeriksa dapat menggerakan jari-jarinya atau diam dan minta pasien menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien apakah ia dapat melihat tangan pemeriksa atau tidak, bila tidak tanyakan tangan mana yang tidak dapat dilihat oleh pasien.
g. Lakukan pemeriksaan pada empat kuadran (temporal atas, temporal bawah, nasal bawah, nasal atas, temporal kanan dan temporal kiri).
h. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Kelainan pada pemeriksaan lapang pandang:
1. | Defek horizontalDisebabkan oleh oklusi pada cabang arteri retina sentral. Pada gambar disamping terdapat oklusi cabang superior arteri retina sentral. | |
2. | Kebutaan unilateralDisebabkan oleh lesi pada saraf optik unilateral yang menyebabkan kebutaan_._ | |
3. | Hemianopsia BitemporalDisebabkan oleh lesi pada kiasma optikum sehingga menyebabkan kehilangan penglihatan pada sisi temporal kedua lapang pandang. | |
4. | Hemianopsia Homonim KiriDisebabkan oleh lesi pada traktus optikus di tempat yang sama pada kedua mata. Hal ini menyebabkan kehilangan penglihatan sisi yang sama pada keduamata. | |
5. | Homonymous Left Superior Quadrantic DefectDisebabkan oleh lesi parsial pada radiasio optikus yang menyebabkan kehilangan penglihatan pada seperempat bagianlapang pandang sisi yang sama. | |
6. | Hemianopsia himonim kiri juga dapatdisebabkan oleh terputusnya jaringan pada radiasio optikus. |
Referensi
a. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
b. The examination of the eyes and vision: examination of__the peripheral visual field (donders’ confrontation method). [cited 2014 March 18]. Available from http://www.skillsinmedicine- demo.com/index.php?option=c om_content&view=article&id=549:examination-of-the-peripheral- visual-field&catid=53:the-visual-field&Itemid=625.
- Pemeriksaan Eksternal Mata Tingkat Keterampilan: 4A Tujuan
Melakukan inspeksi:
a. kelopak mata
b. kelopak mata dengan eversi kelopak atas
c. bulu mata
d. konjungtiva, termasuk forniks
e. sklera
f. orifisium duktus lakrimalis Alat dan Bahan
a. Penlight/ head lamp
b. Kaca pembesar/ Head binocular loop (3-5 Dioptri)
c. Cotton__bud
Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
d. Minta pasien untuk duduk di kursi periksa.
- Inspeksi kelopak mata
Pemeriksa menilai kelopak mata pasien, apakah ada kelainan pada kelopak mata.
- Inspeksi kelopak mata dengan eversi kelopak mata.
a) Pemeriksa meminta pasien untuk melirik ke bawah.
b) Pemeriksa mengeversi kelopak mata atas dengan bentuan cotton bud. Cotton bud diletakkan dikelopak mata atas bagian luar (diatas tarsus superior) dan pemeriksa mengeversi kelopak atas dengan jari.
c) Nilai adakah kelainan pada kelopak mata atas bagian dalam.
- Inspeksi bulu mata
Pemeriksa menilai ada tidaknya bulu mata dan arah tumbuhnya bulu mata.
- Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
Pemeriksa menilai konjungtiva tarsalis dan bulbi. Nilai adakah kelaianan pada konjungtiva.
- Inspeksi sklera
Pemeriksa menilai sklera pasien. Nilai adakah kelainan pada sklera.
- Inspeksi orifisium duktus lakrimalis (pungtum lakrimalis) Pemeriksa menilai orifisium duktus lakrimalis. Nilai adakah sumbatan.
Analisis Hasil Pemeriksaan
a. Inspeksi kelopak mata
Berikut beberapa kelainan pada kelopak mata:
-
Edema palpebra, difus. Dapat ditemukan pada sindroma nefrotik, penyakit jantung, anemia, dakrioadenitis dan hipertiroid.
-
Benjolan berbatas tegas: hordeolum, kalazion, tumor.
-
Sikatriks dan jaringan parut pada kelopak.
-
Xantelasma: penimbunan deposit berwarna kekuningan pada kelopak, terutama nasal atas dan bawah.
-
Ekimosis: kulit kelopak mata yang berubah warna akibat ekstravasasi darah setelah trauma.
-
Posisi kelopak mata melipat kearah keluar: ektropion (konjungtiva tarsal berhubungan langsung dengan dunia luar).
-
Posisi kelopak mata melipat kearah ke dalam: entropion (bulu mata menyentuh konjungtiva dan kornea).
-
Blefarospasme: kedipan kelopak mata yang keras dan hilang saat tidur. Dapat terjadi pada erosi kornea, uveitis anterior dan glaukoma akut.
-
Kelopak mata tidak dapat diangkat sehingga celah kelopak mata menjadi lebih kecil (ptosis).
-
Pseudoptosis: kelopak mata sukar terangkat akibat beban kelopak. Dapat terjadi pada enoftalmus, ptisis bulbi, kalazion, tumor kelopak dan edema palpebra.
-
Kelopak mata tidak dapat tertutup sempurna (lagoftalmus) akibat terbentuknya jaringan parut atau sikatrik yang menarik kelopak, entropion, paralisis orbicularis atau terdapatnya tumor retrobulbar.
-
Blefarofimosis: celah kelopak yang sempit dan kecil.
b. Inspeksi bulu mata
-
Trikhiasis: bulu mata tumbuh ke arah dalam sehingga dapat merusak kornea akibat gesekan kornea dengan bulu mata. Dapat disebabkan oleh blefaritis dan entropion.
-
Madarosis: rontoknya bulu mata.
c. Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
-
Sekret
-
Folikel: penimbunan cairan dan sel limfoid dibawah konjungtiva tarsal superior.
-
Papil: timbunan sel radang subkonjungtiva yang berwarna merah dengan pembuluh darah ditengahnya.
-
Giant papil: berbentuk poligonal dan tersusun berdekatan, permukaan datar, terdapat pada konjungtivitis vernal, keratitis limbus superior dan iatrogenik konjungtivitis.
-
Pseudomembran: membran yang bila diangkat tidak berdarah. Dapat ditemukan pada pemfigoid okular dan sindroma Steven Johnson.
-
Sikatrik atau jaringan ikat.
-
Simblefaron: melekatnya konjungtiva tarsal, bulbi dan kornea. Dapat ditemukan pada trauma kimia, sindroma Steven Johnson dan trauma mekanik.
-
Injeksi konjungtiva: melebarnya arteri konjungtiva posterior.
-
Injeksi siliar: melebarnya pembuluh perikorneal atau arteri siliar anterior.
-
Injeksi episklera: melebarnya pembuluh darah episklera atau siliar anterior.
-
Perdarahan subkonjungtiva.
-
Flikten: peradangan disertai neovaskularisasi disekitarnya.
-
Pinguekula: bercak degenerasi konjungtiva di daerah celah kelopak yang berbentuk segitiga di bagian nasal dan temporal kornea.
-
Pterigium: proses proliferasi dan vaskularisasi pada konjungtiva yang berbentuk segitiga.
-
Pseudopterigium: masuknya pembuluh darah konjungtiva ke dalam kornea.
d. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis Sumbatan duktus laksimalis
Referensi
a. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
b. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009.
- Pemeriksaan Media Refraksi Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: melakukan pemeriksaan media refraksi Alat dan Bahan:
a. Lup kepala
b. Kusi periksa
c. Pen light
Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
d. Minta pasien duduk di kursi periksa.
e. Pemeriksa menggunakan lup kepala.
f. Nyalakan penlight dan arahkan cahaya ke mata pasien. Amati media refraksi mulai dari kornea.
g. Amati kejernihan kornea dan nilai apabila ada kelaianan pada kornea.
h. Periksa kedalaman kamera okuli anterior dengan memberikan sinar secara mendatar dari arah temporal ke nasal menembus
mata sehingga perkiraan kasar kedalaman kamera okuli anterior dapat dibuat dengan memperhatikan paparan sinar apakah sampai di iris bagian nasal. Nilai juga apakah ada flare, hifema maupun hipopion. Flare dapat dinilai dengan loop jika merupakan derajat yang hebat
i. Periksa iris pasien. Nilai pola dan warnanya, apakah ada nodul dan vaskularitas.
j. Periksa kejernihan lensa mata, apabila lensa mata terlihat keruh, lakukan pemeriksaan shadow test. Dengan penlight, cahaya diarahkan pada pupil dengan membentuk sudut 45o terhadap iris. Nilai bayangan iris pada lensa.
Kelopak
Pupil Sklera
Iris
Badan siliaris
Kornea
Iris Lensa
Sklera
Vitreus
N. Optikus
Gambar 33. Penampang mata Analisis Hasil Pemeriksaan
Kornea
Kornea normal jernih dan tanpa kekeruhan atau kabut. Cincin keputih-putihan pada perimeter kornea mungkin arkus senilis; yang pada pasien diatas usia 40 tahun merupakan fenomena penuaan normal sedangkan pada pasien dibawah 40 tahun mungkin hiperkolesterolemia.
Cincin kuning-kehijauan yang abnormal dekat limbus di superior dan inferior adalah cincin Keyser-Fleischer. Cincin ini sangat spesifik dan merupakan tanda yang sangat sensitif dari penyakit Wilson.
Cincin Keyser-Fleischer merupakan penimbunan tembaga pada kornea.
Kamera Okuli Anterior
Jika terlihat paparan sinar tidak sampai di iris bagian nasal, kamera okuli anterior mungkin dangkal. Pendangkalan kamera okuli anterior mungkin akibat penyempitan ruangan antara iris dan kornea.
a. Adanya kamera okuli anterior yang sempit terdapat pada mata berbakat glaukoma sudut tertutup, hipermetropia, blokade pupil, katarak intumesen dan sinekia posterior perifer.
b. Bilik mata dalam terdapat pada afakia, miopia, glaukoma kongenital dan resesi sudut.
c. Flare merupakan efek tyndal dalam bilik mata depan yang keruh akibat penimbunan sel radang atau bahan darah lainnya.
d. Hipopion merupakan penimbunan sel radang bagian bawah kamera okuli anterior. Hipopion terdapat pada tukak/ulkus kornea, iritis berat, endoftalmitis dan tumor intraokular.
e. Hifema merupakan sel darah di dalam bilik mata depan dengan permukaan darah yang datar atau rata. Hifema terdapat pada cedera mata, trauma bedah, diskrasia darah (hemofilia) atau tumor intrakranial.
Iris
Iris mempunyai gambaran kripti normal, terlihat adanya lekukan iris. Beberapa kelainan iris antara lain:
a. Atrofi adalah iris yang berwarna putih dan sukar bergerak bersama pupil. Iris atrofi terdapat pada diabetes melitus, lansia, iskemia iris dan glaukoma.
b. Normalnya pembuluh darah iris tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Terlihatnya pembuluh darah iris (rubeosis) akibat radang dalam iris. Rubeosis iridis terdapat pada penyakit vaskular, oklusi arteri/vena retina sentral, diabetes melitus, glaukoma kronik dan pasca uveitis.
c. Sinekia anterior adalah menempelnya iris dengan kornea belakang.
d. Sinekia posterior adalah menempelnya iris degan bagian depan lensa. Hal ini dapat terjadi pada uveitis.
Lensa
Pada uji bayangan iris (shadow test), bila didapatkan semakin sedikit lensa keruh, maka semakin besar bayangan iris pada lensa. Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil maka lensa belum keruh seluruhnya sehingga shadow test (+). Hal ini terjadi pada katarak immatur. Apabila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat tepi pupil atau bahkan tidak tampak bayangan iris maka lensa sudah keruh seluruhnya sehingga shadow test (-). Hal ini terdapat pada katarak matur. Pada katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya, sehingga bayangan iris pada lensa besar dan keadaan ini disebut pseudopositif.
Referensi
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009.
- Pemeriksaan Posisi Bola Mata Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan penilaian posisi bola mata dengan cover uncover test
Alat dan Bahan:
a. Kursi periksa
b. Penutup mata
c. Mainan anak
d. Penlight
Teknik Pemeriksaan
a. Minta pasien untuk memfiksasi matanya pada satu titik. Untuk pasien anak, gunakan objek berupa mainan yang berukuran kecil atau penlight.
b. Tutup salah satu mata untuk 1-2 detik.
c. Dengan cepat buka penutup mata.
d. Perhatikan pergerakan mata yang yang sebelumnya ditutup. Lihat adanya deviasi mata kembali ke posisi fiksasi objek.
e. Tutup mata yang lain dan ulangi prosedur pemeriksaan.
Gambar 34. Tes Cover Uncover
Analisis Hasil Pemeriksaan
Pada pasien abnormal atau hasil tes positif didapatkan strabismus laten (phoria).
Lihat gambar 20.
Referensi
a. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
b. Moses S. Cover Test [Internet]. 2014 Feb [cited 2014 March 19]. Available from:
http://www.fpnotebook.com/eye/exam/CvrTst.htm
- Pemeriksaan Tekanan Intraokular Dengan Palpasi Dan Tonometer Schiotz
Pengukuran Tekanan Intraokular dengan Palpasi Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: melakukan pengukuran tekanan intraokular, estimasi dengan palpasi
Alat dan Bahan: Meja Periksa Teknik Pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Mencuci tangan.
d. Minta pasien berbaring di meja periksa. Posisi pemeriksa berada di bagian kepala pasien.
e. Penderita diminta untuk melirik kebawah.
f. Pemeriksa menggunakan kedua jari telunjuknya untuk menilai fluktuasi pada bola mata pasien dengan bagian tangan lain bertumpu di sekitar mata Bandingkan kiri dan kanan
Analisis Hasil Pemeriksaan
Tekanan dianggap N (normal) bila terdapat fluktuasi (pemeriksaan bersifat subjektif, pemeriksa akan memiliki kompetensi intepretasi jika sering melakukan pada orang normal, sehingga dapat membedakan ketika terdapat perkiraan perubahan tekanan intra ocular)
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
- Pengukuran Tekanan Intraokular Dengan Tonometer Schiӧtz Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pengukuran tekanan intraokular dengan Tonometer Schiӧtz
Alat dan Bahan:
a. Meja periksa
b. Tonometer Schiӧtz
c. Anestesi lokal tetes Teknik Pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Mencuci tangan.
d. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa. Posisi pemeriksa berada di bagian kepala pasien.
e. Mata pasien terlebih dulu ditetesi dengan larutan anestesi lokal.
f. Pastikan keadaan kornea intak tidak ada kelainan/infeksi yang akan mengganggu pemeriksaan
g. Tonometer didesinfeksi dengan dicuci alkohol atau dibakar dengan api spiritus.
h. Minta pasien untuk melihat lurus keatas tanpa berkedip.
i. Tonometer diletakkan dengan perlahan-lahan dan hati-hati diatas kornea pasien.
j. Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum tonometer. Pemeriksaan diulang 2-3 kali untuk menjaga konsistensi pemeriksaan.
k. Kemudian pemeriksa melihat pada tabel, dimana terdapat daftar tekanan bola mata.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Sesuai dengan referansi tabel alat Schiotz
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
- Penilaian Penglihatan Warna (Dengan Buku Ishihara 12 Plate) Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: melakukan pemeriksaan buta warna Alat dan Bahan: Buku ishihara 12 plate Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Minta pasien duduk di kursi periksa.
d. Mnta pasien mengenali dan menyabutkan gambar atau angka yang terdapat di dalam buku ishihara dalam waktu masing- masing 10 detik pada setiap halaman.
e. Pemeriksa menilai kemampuan pasien mengenali gambar atau angka dalam buku Ishihara.
f. Mata diperiksa satu persatu.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Buku Ishihara adalah buku dengan titik-titik berwarna yang kecerahannya dan bayangannya membentuk angka, huruf, atau lainnya. Kartu ini digunakan untuk menguji daya pisah warna mata penderita yang diuji untuk menilai adanya buta warna.
Pada penyakit tertentu dapat terjadi gangguan penglihatan warna seperti buta merah dan hijau pada atrofi saraf optik, neuropati optik toksik, dengan pengecualian neuropati iskemia, glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan gangguan penglihatan biru kuning.
Gambar 35. Tes buta warna
Referensi
a. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
b. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009.
- Pemberian Obat Tetes Mata Dan Salep Mata Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan
a. Aplikasi pemberian obat tetes mata
b. Aplikasi pemberian salep mata Alat dan Bahan
a. Meja periksa atau kursi periksa
b. Obat tetes mata atau salep mata
c. Kapas pembersih muka
d. Air matang hangat Teknik Tindakan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Botol tetes mata atau tube salep mata harus sesuai suhu ruangan karena tetes mata/salep mata yang dingin lebih tidak nyaman.
c. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
d. Cuci tangan, lalu siapkan kapas pembersih muka yang dibasahi dengan air matang hangat. Bersihkan mata dari dalam ke luar.
e. Minta pasien berbaring di meja periksa atau duduk di kursi periksa.
f. Pemberian obat dalam posisi berbaring atau duduk dengan kepala menengadah agar tetes mata /salep mata tepat ke arah mata yang dituju. Jangan sampai mata terkena aplikator botol tetes mata atau tutup salep mata.
g. Dengan satu tangan, tarik kelopak bawah mata secara lembut, sehingga membentuk kantung. Arahkan ujung botol tetes mata/tube salep mata ke kantung kelopak bawah mata kearah forniks inferior dan teteskan/berikan salep sesuai aturan.
h. Hindari tip (ujung) botol tetes mata menyentuh bulu mata/kelopak mata/bola mata. Posisi ujung botol tetes atau salep mata pada saat menetesi mata anak ialah kurang lebih 2 cm diatas ‘kantung’ kelopak bawah mata.
i. Beri jeda sekitar 3-5 menit antara satu obat tetes mata ke obat tetes mata atau salep mata yang lain. Apabila kombinasi tetes mata dan salep mata, maka yang diberikan terlebih dahulu ialah yang tetes mata.
j. Ketika sudah selesai memberikan tetes mata/salep mata, segera tutup botol tetes mata/salep mata. Minta pasien memejamkan kembali mata secara perlahan (seperti tidur) selama 1-2 menit
k. Cuci tangan setelah memberi tetes mata/ salep mata.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
- Pencabutan Bulu Mata Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan teknik pencabutan bulu mata (epilasi)
Alat dan Bahan
a. Anastesi topikal
b. Pinset
c. Lup/ binocular 3-5 Dioptri
d. Penlight atau senter
e. Kasa Teknik Tindakan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan dan informasikan bahwa prosedur ini akan menyebabkan nyeri.
c. Mencuci tangan.
d. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa. Posisi pemeriksa berada di bagian kepala pasien. Posisikan pasien senyaman mungkin dengan penyangga di kepala pasien.
e. Minta perawat untuk memegang senter atau penlight.
f. Aplikasikan anastesi topikal pada mata yang akan dilakukan tindakan.
g. Dengan menggunakan loupe, identifikasi bulu mata yang perlu dicabut.
h. Untuk pencabutan bulu mata bagian bawah:
-
Minta pasien untuk melihat ke atas dan fiksasi pandangannya. Minimalkan gerakan pasien.
-
Dengan jari telunjuk, tarik ke bawah kelopak mata bagian bawah.
i. Untuk pencabutan bulu mata bagian atas:
-
Minta pasien untuk melihat ke bawah dan fiksasi pandangannya. Minimalkan gerakan pasien.
-
Dengan ibu jari, dorong ke atas kelopak mata bagian atas.
j. Dengan pinset yang dipegang tangan yang lain, jepit bulu mata yang akan dicabut kemudian tarik secara perlahan ke arah depan.
k. Ulangi sampai seluruh bulu mata yang diinginkan tercabut.
l. Antara setiap epilasi, usap bulu mata dengan menggunakan kassa.
m. Yakinkan pasien bahwa semua bulu mata sudah tercabut. Sarankan pasien untuk tidak menggosok mata.
n. Cuci tangan setelah melakukan tindakan.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
- Membersihkan Benda Asing Pada Mata Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Membersihkan benda asing pada mata Alat dan Bahan
a. Penlight
b. Loop binocular 3-5 Dioptri
c. Tetes anestesi topical (misal tetracaine 0,5% atau 2%)
d. Cotton__bud
e. Cairan fisiologis Teknik Tindakan
a. Lakukan pemeriksaan fisik mata secara menyeluruh
b. Identifikasi benda asing konjungtiva, apakah dikonjungtiva bulbi atau konjungtiva tarsalis, ukuran, jenis, kedalaman penetrasi benda asing
c. Hanya lakukan pembersihan benda asing/debris konjungtiva yang berada di permukaan bila benda asing berada di konjungtiva bulbi
d. Teteskan anestesi topikan, eversikan kelopak, identifikasi benda asing dengan loop,
e. Ambil/sapu benda asing dengan menggunakan cotton bud, kearah yang menjauhi kornea
f. Bilas konjungtiva dengan menggunakan cairan fisiologis
g. Setelah benda asing terangkat, identifikasi lesi, jika terdapat laserasi konjungtiva, berikan tetes mata antibiotika spektrum luas
Indera Pendengaran
- Pemeriksaan Fisik Telinga Tingkat Keterampilan: 4A Tujuan
a. Melakukan inspeksi dan palpasi aurikula, posisi telinga dan mastoid.
b. Melakukan pemeriksaan meatus auditorius eksternus (MAE) dengan otoskop.
c. Melakukan pemeriksaan membran timpani dengan otoskop.
d. Menggunakan lampu kepala.
Alat pemeriksaan
a. Otoskop
b. Lampu kepala
c. Garpu tala 512 Hz
Teknik Pemeriksaan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
c. Lakukan inspeksi dan palpasi aurikula:
-
Pasien dipersilahkan duduk di kursi periksa.
-
Pemeriksa duduk di samping pasien dengan posisi mata pemeriksa setinggi telinga pasien yang akan diperiksa.
-
Pemeriksa menggunakan lampu kepala. Pemeriksaan telinga dilakukan satu per satu, dimulai dari telinga kanan.
-
Arahkan lampu kepala ke arah telinga yang akan diperiksa.
-
Lakukan pemeriksaan dimulai dari preaurikula, aurikula dan retroaurikula.
-
Pada preaurikula lakukan inspeksi adanya kelainan kongenital, tanda-tanda inflamasi atau kelainan patologis lain.
-
Lalu lakukan palpasi untuk menilai adakah nyeri tekan tragus atau benjolan di depan tragus yang berhubungan dengan kelainan kongenital.
-
Aurikula yang normal diliputi oleh kulit yang halus, tanpa adanya kemerahan atau bengkak.
-
Bila didapatkan kelainan seperti diatas, pemeriksa mempalpasi daerah kemerahan tersebut dengan punggung jari tangan untuk menilai apakah area tersebut lebih hangat dibandingkan dengan kulit sekitarnya.
-
Bila terdapat bengkak, maka pemeriksa menggunakan jempol dan telunjuknya untuk menilai konsistensi dan batas benjolan. Saat melakukan pemeriksaan ini, amati wajah pasien untuk menilai adanya nyeri.
-
Bila didapatkan anting atau pearcing di aurikula atau MAE, palpasi juga area tersebut.
-
Pemeriksa kemudian menginspeksi MAE. Normalnya bersih atau mungkin didapatkan sedikit serumen berwarna kuning kecoklatan di tepi MAE. Nilai pula adakah cairan atau pus yang keluar dari MAE.
-
Pemeriksa kemudian menekan tragus dan tanyakan kepada pasien apakah terdapat nyeri.
-
Pegang puncak aurikula pasien dengan jempol dan jari telunjuk dan tarik ke arah postero superior agar pars kartilago MAE dan pars oseus MAE berada dalam satu garis lurus.
-
Nilai MAE. Normalnya terdapat sedikit rambut dan kadang serumen kuning kecoklatan. Perhatikan bila ditemukan pembengkakan, kemerahan, atau terdapat lapisan selain serumen pada MAE.
-
Tidak seperti pada pasien dewasa, pada anak, daun telinga ditarik ke arah anteroinferior untuk melihat MAE karena adanya perbedaan anatomi.
Gambar 36. Cara menarik aurikula
d. Inspeksi dan palpasi prosesus mastoideus (retroaurikula):
-
Pertama-tama pemeriksa menentukan letak prosesus mastoideus dengan meretraksikan aurikula ke anterior (retroaurikula).
-
Saat inspeksi, nilai warna kulit yang diatas retroaurikula. Perhatikan adanya tanda-tanda inflamasi pada area tersebut.
-
Palpasi retroaurikula. Nilai adanya tanda-tanda inflamasi. Bila ada, periksa apakah benjolan tersebut mobile atau melekat pada dasarnya serta adanya fluktuasi atau tidak.
e. Pemeriksaan MAE dan membran timpani dengan otoskop:
-
Posisi pasien dan pemeriksa seperti pada prosedur sebelumnya.
-
Ambil otoskop dan pasang spekulum telinga dengan ukuran yang sesuai dengan telinga pasien. Pastikan lampu otoskop menyala.
-
Saat memeriksa telinga kanan, pemeriksa memegang aurikula pasien dengan tangan kiri dan menariknya ke arah posterosuperior, sedangkan tangan kanan pemeriksa memegang otoskop. Pegang otoskop seperti memegang pinsil.
-
Agar posisi tangan pemeriksa yang memegang otoskop stabil, tempelkan kelingking di pipi pasien.
-
Saat ujung spekulum berada di depan MAE, pemeriksa melihat melalui lensa. Jarak mata pemeriksa dan lensa harus dekat. Dengan hati-hati masukkan spekulum ke dalam MAE sehingga pasien merasa nyaman.
-
Nilai permukaan kulit pada MAE, nilai adakah tanda-tanda inflamasi. Mungkin liang telinga dapat tertutup oleh serumen yang menumpuk atau telah mengeras. Apabila terlihat adanya pus, periksa apakah pus tersebut berasal dari dinding MAE atau dari telinga tengah.
-
Pada MAE pars oseus, pemeriksa dapat melihat membran timpani. Daerah membran timpani yang dapat terlihat melalui otoskop sekitar seperempat bagian dari seluruh
permukaan membran timpani, oleh karena itu pemeriksa harus menggerakkan otoskop secara hati-hati ke arah jam 3, jam 6, jam 9 dan jam 12 untuk dapat mengeksplorasi seluruh permukaan membran timpani.
-
Saat memeriksa membran timpani, pertama-tama pemeriksa menginspeksi refleks cahaya (pantulan cahaya). Karena membran timpani merupakan suatu struktur berbentuk kerucut, maka saat disorot cahaya dari sudut yang miring, pantulannya berupa bentuk segitiga. Apabila membran timpani retraksi ke arah medial, maka pantulan cahaya semakin menyempit. Apabila permukaan membran timpani semakin datar (bulging), pantulan cahayanya semakin lebar atau menghilang.
-
Lebar dari pantulan cahaya dapat memberikan informasi mengenai posisi membran timpani. Hal ini penting untuk mengetahui proses yang sedang terjadi di dalam telinga tengah. Apabila tekanan di dalam telinga tengah menurun karena disfungsi tuba eustachius, maka membran timpani akan tertarik ke dalam sehingga lebih mengerucut. Apabila terdapat banyak cairan atau pus di dalam telinga tengah, maka membran timpani akan terdorong keluar sehingga lebih datar.
-
Warna membran timpani normalnya abu-abu seperti mutiara. Bila terjadi iritasi, karena inflamasi atau pada anak yang menangis, membran timpani dapat berwarna kemerahan. Sedangkan pada inflamasi berat, membran timpani dapat berwarna merah terang.
-
Apabila terdapat akumulasi cairan di dalam kavum timpani, maka membran timpani dapat berwarna kuning kecoklatan, tampak air fluid level atau gelembung udara sesuai dengan jenis cairan di belakangnya (glue ear atau otitis media efusi).
-
Membran timpani juga dapat ruptur akibat peningkatan tekanan yang hebat dari telinga tengah (barotrauma) atau akibat trauma dari luar (saat membersihkan telinga) atau akibat otitis media akut atau kronik. Hal ini disebut perforasi. Saat terjadi penyembuhan dapat terbentuk
jaringan ikat. Baik perforasi maupun jaringan ikat ini dapat mempengaruhi getaran gendang telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran.
Gambar 37. Pemeriksaan otoskop Analisis Hasil Pemeriksaan
a. Telinga luar:
Kelainan yang mungkin dapat ditemukan pada pemeriksaan aurikula antara lain:
-
Kista brakialis kongenital.
-
Mikrotia
-
Tophus, akibat deposit kristal asam urat.
-
Keloid, masa jaringan hipertrofi yang keras, berbentuk nodular, yang terjadi pada area yang pernah mengalami luka.
-
Hematoma
-
Karsinoma sel skuamosa
-
Karsinoma sel basal
Gambar 38. A. Mikrotia B. hematoma C. karsinoma sel squamosa
Nyeri saat aurikula dan tragus digerakkan (nyeri tekan tragus) menunjukkan adanya otitis eksterna akut (inflamasi pada liang telinga), namun tidak terjadi pada otitis media. Nyeri di belakang telinga dapat terjadi pada otitis media.
b. MAE dan membran timpani:
- Pada otitis eksterna akut, kanalis auditorius edem, kemerahan, tampak sedikit sekret, pucat dan nyeri.
Gambar 39. Otitis eksterna akut
- Pada otitis eksterna kronis, kulit dalam kanalis auditorius menebal, merah dan gatal. Dapat pula disertai debris pada otomikosis.
Gambar 40. A. Otitis Externa B. exositosis kanalis auditorius
eksternus
-
Pada otitis media akut stadium hiperemis, membran timpani tampak hiperemis, refleks cahaya berkurang.
-
Pada otitis media akut stadium purulen, membran menonjol dan berwarna merah, sedangkan pada efusi serosa berwarna pucat, refleks cahaya menghilang.
-
Perforasi membran timpani dapat terjadi akibat tekanan di dalam telinga tengah yang meningkat pada otitis media akut atau adanya trauma akibat benda asing dari luar.
-
Adanya perforasi membran timpani tipe atik, merupakan ciri adanya pertumbuhan kolesteatoma pada telinga tengah
(otitis media supuratif kronik tipe bahaya) sehingga harus segera dirujuk.
Gambar 41. Perforasi membran timpani tipe atik
- Timpanosklerosis: adanya bercak putih, luas pada bagian inferior membran timpani, dengan batas ireguler. Ciri khasnya berupa deposisi membran hialin pada lapisan membran timpani.
Gambar 42. A. Perforasi membran timpani tipe marginal; B. Retraksi pars tensa dengan timpanosklerosis; C. Grommet pada pars tensa MT; D. Otitis media akut stadium hiperemis; E. MT Bulging; F. Otitis media efusi dengan air fluid level (kiri ke kanan)
Referensi
a. Bickley. Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking. 8th Edition. 2002-08.
b. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary Examination. 2009.
c. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. 13th ed. Edinburg: Elsevier, 2013.
- Penilaian Tajam Pendengaran Tingkat keterampilan : 4A Tujuan: Melakukan pemeriksaan:
a. Tes suara
b. Rinne
c. Weber
d. Swabach
Alat dan Bahan: Garpu tala 512 Hz Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
d. Minta pasien duduk di kursi periksa. Tes Suara:
a. Pemeriksaan dilakukan pada salah satu telinga secara bergantian dimulai dari telinga kanan. Pasien diminta menutup telinga kirinya dengan tangan.
b. Gesekkan jari-jari pemeriksa di depan telinga pasien yang tidak ditutup dengan cepat dan lembut. Tanyakan apakah pasien mendengar suara tangan pemeriksa. Bandingkan kanan dan kiri.
c. Kemudian pemeriksa mengambil posisi di sisi pasien dengan jarak 1 meter dari telinga pasien.
d. Pemeriksa mengucapkan kata-kata di depan telinga pasien yang tidak ditutup, ketinggian mulut pemeriksa sejajar dengan telinga pasien. Pastikan pasien tidak melihat gerakan bibir pemeriksa. Pilih kata yang terdiri dari dua suku kata yang dikenal pasien, seperti "bola" atau "meja" dan dapat diulang sampai 3 atau 4 kali.
e. Jika perlu, tingkatkan intensitas suara pemeriksa menjadi suara bisik, suara biasa, suara keras, berteriak dan berteriak di depan aurikula (penilaian semi kuantitatif)
f. Minta pasien mengulang kata yang disebutkan pemeriksa. Nilai apakah jawaban pasien benar.
g. Lakukan prosedur yang sama untuk telinga yang lain.
Pemeriksaan Rinne:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya di prosesus mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Kemudian segera pindahkan garpu tala sehingga ujung garpu tala berada di depan kanalis auditorius (tidak bersentuhan).
e. Tanyakan apakah pasien mendengar suara garpu tala.
f. Pemeriksa juga dapat memulai pemeriksaan ini dari lubang telinga kemudian ke prosesus mastoideus.
g. Lakukan prosedur yang sama pada telinga lainnya.
h. Tes Rinne dikatakan abnormal bila konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara.
Gambar 43. Pemeriksaan Rinne Pemeriksaan Webber:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan di tengah kening atau puncak kepala pasien dengan perlahan.
c. Minta pasien menyebutkan dimana ia lebih baik mendengar suara (kanan atau kiri).
Gambar 44. Pemeriksaan Webber
Pemeriksaan Swabach:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya pada prosesus mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Pindahkan dasar garpu tala ke prosesus mastoideus pemeriksa. Bila pemeriksa masih dapat mendengar suara, maka test Swabach abnormal.
Analisis Hasil Pemeriksaan Pemeriksaan Rinne:
a. Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara pada satu telinga. Normalnya, gelombang suara (air conduction) lebih baik dihantarkan melalui udara dibandingkan dengan tulang (bone conduction).
b. Bila pasien masih dapat mendengar suara garpu tala saat pemeriksa memegangnya di depan telinga pasien atau terdengar lebih keras dibandingkan dengan saat garpu tala ditempelkan di tulang mastoid pasien, maka tes Rinne dikatakan positif (+). Hal ini menandakan bahwa pendengaran pasien normal atau mengindikasikan adanya tuli sensori neural.
c. Bila pasien mengatakan tidak dapat mendengar suara garpu tala saat diletakkan di depan telinga, maka tes Rinne dikatakan negatif (-). Hal ini menandakan pasien mengalami tuli konduktif.
Pemeriksaan Weber:
a. Tujuan pemeriksaan Weber adalah membandingkan hantaran tulang (bone conduction) pada telinga kiri dan kanan.
b. Apabila pendengaran pasien baik, maka pada pemeriksaan ini tidak ditemukan lateralisasi dimana pasien tidak dapat menentukan di mana ia lebih baik mendengar suara (kanan atau kiri).
c. Pada pasien dengan tuli sensorineural, maka pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat).
d. Pada pasien dengan tuli konduktif, maka pasien mendengar lebih keras pada telinga yang mengalami kelainan (lateralisasi ke telinga yang sakit).
Pemeriksaan Swabach:
Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran udara telinga pasien dengan telinga normal (telinga pemeriksa= normal).
Referensi
a. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009. P 265 – 266.
b. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. 13th ed. Edinburg: Elsevier, 2013.
- Penilaian Tajam Pendengaran Pada Anak Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan pemeriksaan pendengaran pada anak
Alat dan Bahan
a. Otoskop
b. Bel atau alat penghasil suara Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Menjelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
d. Posisikan anak pada meja periksa atau kursi periksa.
Terdapat dua macam posisi yang sering digunakan: anak dibaringkan atau dipangku oleh orang tua.
a. Apabila anak dibaringkan dengan posisi terlentang, minta orang tua untuk memegang kedua lengan anak baik direntangkan maupun diapit dekat dengan tubuh untuk memfiksasi posisi anak. Pemeriksa dapat memegang kepala dan menarik tragus dengan satu tangan dan tangan lain memegang otoskop.
b. Apabila anak berada di pangkuan orang tua, posisikan kedua tungkai anak diantara tungkai orang tua. Orang tua dapat membantu memegangi anak dengan cara memeluknya menggunakan salah satu tangan dan tangan yang lain memegangi kepala anak.
Pemeriksaan dengan otoskop
a. Gunakan mainan atau benda-benda yang menarik untuk membuat anak tenang saat dilakukan pemeriksaan.
b. Pemeriksa memegang otoskop dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan dan sebaliknya.
c. Tangan lain memegang aurikula dan menariknya ke superoposterior.
d. Untuk pemeriksaan ini, gunakan spekulum dengan ukuran sebesar mungkin sesuai dengan besar liang telinga anak.
e. Jangan menekan otoskop terlalu keras.
f. Masukkan otoskop sejauh ½ sampai dengan 1 cm kedalam kanalis aurikularis.
g. Pertama-tama nilai permukaan kanalis aurikularis.
h. Kemudian nilai membran timpani pasien.
Pemeriksaan pendengaran pada anak < 12 bulan (acoustic blink reflex)
a. Pemeriksa membuat suara yang tajam secara cepat seperti menjentikkan jari, membunyikan bel atau alat penghasil suara lain pada jarak kurang lebih 30 cm dari telinga anak.
b. Pastikan tidak ada aliran udara atau angin yang melewati daerah sekitar wajah anak yang dapat membuatnya berkedip.
c. Perhatikan respon dan adanya refleks berkedip pada anak. Pemeriksaan pendengaran pada anak:
a. Pemeriksa berada kurang lebih 2,5 m di sebelah telinga anak.
b. Lakukan tes berbisik dengan memberikan pertanyaan atau perintah sederhana kepada anak.
c. Nilai respon anak.
d. Semakin besar anak, pemeriksaan yang dilakukan dapat mendekati teknik pemeriksaan pendengaran pada dewasa.
Analisis Hasil Pemeriksaan
Pada bayi baru lahir, pemeriksaan telinga dengan otoskop hanya dapat mendeteksi kanalis aurikularis karena membran timpani tertutup oleh akumulasi vernix kaseosa pada beberapa hari kehidupan. Acoustic blink refleks dapat sulit dinilai pada 2-3 hari pertama kehidupan. Jangan melakukan pemeriksaan ini berulang kali dalam satu waktu karena dapat terjadi habituasi sehingga refleks ini tidak akan muncul.
Penyebab gangguan pendengaran Prenatal
Genetik herediter Non genetik:
a. Gangguan atau kelaianan pada masa kehamilan
b. Kelainan struktur anatomis
c. Kekurangan zat gizi seperti yodium Perinatal
a. Prematuritas
b. BBLR (< 2500 gram)
c. Hiperbilirubinemia berat
d. Asfiksia (lahir tidak menangis)
Postnatal
a. Infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis
b. Infeksi otak (meningitis dan ensefalitis)
c. Perdarahan telinga tengah
d. Trauma temporal
Banyak anak dengan defisit pendengaran yang tidak terdiagnosa sampai dengan usia 2 tahun. Tanda-tanda defisit pendengaran pada anak antara lain keterlambatan bicara dan gangguan perkembangan yang berhubungan dengan pendengaran.
Hal-hal yang menandakan anak dapat mendengar berdasarkan usia
0-2 bulan | Respon berkedip pada suara yang tiba-tiba.Menjadi tenang dengan suara atau musik. |
2-3 bulan | Perubahan gerakan tubuh saat merespon suara. Perubahan ekspresi wajah terhadap suara yangfamiliar. |
3-4 bulan | Memutar mata dan kepala ke arah sumber suara. |
6-7 bulan | Memutar untuk mendngarkan suara dan percakapan. |
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009. P 676-680.
- Manuver Valsava
Tingkat Keterampilan: 4A Tujuan
a. Memperbaiki tekanan di telinga tengah.
b. Melakukan pemeriksaan valsava maneuver untuk melihat patensi membran timpani dan tuba eustachius.
Alat dan Bahan: -
Teknik Pemeriksaan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
c. Pasien diminta duduk diatas meja periksa.
d. Pemeriksa meminta pasien untuk menutup rapat mulut dan lubang hidung dengan menjepitnya.
e. Dalam posisi ini, minta pasien meniup seperti sedang meniup balon.
f. Dengan menggunakan otoskop, pemeriksa menilai membran timpani.
Gambar 45. Teknik Valsava Manuver Analisis Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan mengingat sering terjadi komplikasi pada manuver ini. Perlu diperhatikan pada pasien dengan faringitis manuver ini dapat menyebabkan meningkatkan risiko OMA akibat perpindahan virus atau bakteri dari faring ke telinga tengah melalui tuba eustachius.
Kalaupun pemeriksaan ini dilakukan, pada pasien dengan membran timpani dan tuba eustachius yang intak atau normal, pemeriksa dapat melihat membran timpani terdorong ke lateral (bulging). Pada pasien dengan otitis media efusi, pemeriksa tidak melihat gerakan membran timpani.
Referensi
a. Taylor D. Valsalva maneuver, critical review. SPUMS J 1996; 26 (1):8-13.
b. Sullivan RF. Audiology forum: video otoscopy [Internet]. 2006 [cited 2014 March 18]. Available from: http://www.rcsullivan.com/www/ears.htm
- Pembersihan Meatus Auditorius Dan Pengambilan Benda Asing Pada Telinga
Tingkat Keterampilan: 4A Tujuan
a. Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret
b. Pengambilan benda asing di telinga Alat dan Bahan
a. Lampu kepala
b. Otoskop dengan removable lens
c. Kait dan kuret
d. Pinset telinga
e. Forceps bayonet
f. Forceps aligator
g. Emesis basin
h. Handuk
Teknik Pemeriksaan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Mencuci tangan.
c. Pasien diminta duduk diatas kursi periksa.
Pengambilan Serumen Menggunakan Kait Atau Kuret
a. Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan lampu kepala atau otoskop untuk memperkirakan beratnya sumbatan dan keadaan membrana timpani (bila memungkinkan).
b. Nilai tipe serumen (kering/ basah/ keras/ padat/ lunak/ lengket), dan tentukan teknik pengambilan yang akan dipakai.
c. Nilai perlu tidaknya penggunaan seruminolitik sebelum pengambilan serumen.
d. Jelaskan kemungkinan komplikasi tindakan kepada pasien.
e. Persiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
f. Bila serumen terdapat pada telinga kanan, dengan tangan kiri pemeriksa retraksikan daun telinga ke arah posterosuperior. Dengan tangan kanan pemeriksa, masukkan kait atau kuret melalui rongga yang ada hingga ujung kait atau kuret berada lebih dalam (medial) dari serumen kemudian tarik serumen ke arah luar (lateral). Kait digunakan untuk mengambil serumen yang kering dan padat. Kuret digunakan untuk mengambil serumen yang agak basah.
g. Prosedur ini dapat juga menggunakan otoskop, dengan cara menempatkan otoskop pada telinga kemudian buka lensanya dan masukkan kait atau kuret melalui lubang otoskop untuk mengambil serumen.
h. Ekstrasi serumen juga dapat dilakukan dengan teknik irigasi telinga seperti pada prosedur irigasi benda asing.
Pengambilan Benda Asing di Telinga
Nilai jenis benda asing untuk menentukan tipe prosedur yang akan dilakukan. Serangga, benda organik, dan objek lain yang dapat hancur menjadi potongan yang lebih kecil lebih baik diekstrasi dengan suction dibanding dengan forceps. Serangga yang masih hidup sebaiknya dimatikan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan. Untuk mematikannya dapat digunakan minyak gliserin.
Ekstraksi Mekanik
a. Posisikan pasien senyaman mungkin.
b. Ulang kembali pemeriksaan telinga sambil menilai lokasi dan kedalaman benda asing pada liang telinga dengan menggunakan lampu kepala atau otoskop.
c. Bila benda asing terdapat pada telinga kanan, dengan tangan kiri pemeriksa retraksikan daun telinga ke arah posterosuperior. Dengan tangan kanan pemeriksa, masukkan forceps bayonet atau alligator secara hati-hati.
d. Jepit benda asing kemudian dengan perlahan tarik forceps
keluar.
e. Bila menggunakan otoskop, buka lensa otoskop, dengan hati- hati masukkan forceps bayonet atau alligator melalui lubang otoskop.
f. Periksa kembali apakah benda asing sudah dibersihkan seluruhnya, nilai adakah perforasi membran timpani atau laserasi MAE.
Irigasi
a. Pertama-tama siapkan dan pasang abocath no.16 pada spuit 50 mL.
b. Hangatkan cairan irigasi (air atau normal saline) untuk kenyamanan pasien.
c. Posisikan pasien senyaman mungkin dan lapisi bahu pasien dengan handuk untuk menjaga pakaian pasien tetap kering.
d. Tempatkan emesis basin dibawah telinga yang akan diirigasi untuk menampung cairan irigasi yang keluar.
e. Tempatkan abocath tip dengan hati-hati pada MAE. Memasukkan tip terlalu dalam berisiko merusak membran timpani.
f. Setelah tip ditempatkan pada posisinya, dengan perlahan semprotkan cairan irigasi ke arah dinding posterior MAE beberapa kali sampai benda asing tersebut keluar.
g. Selalu periksa kembali telinga setelah dilakukan tindakan untuk memastikan benda asing sudah keluar sepenuhnya dan nilai adanya komplikasi. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada membran timpani yang perforasi.
Referensi
Kwong AO. Ear foreign body removal procedures [Internet]. 2012 March 23 [cited 2014 April 21]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/80507-overview#a15
Indera Pengecapan
- Penilaian Pengecapan Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan pengecapan Alat dan bahan
a. Gula pasir
b. Garam
c. Kopi
d. Cuka
e. Cotton bud
f. Air putih Teknik pemeriksaan
a. Siapkan alat dan bahan.
b. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
c. Pemeriksa mencuci tangan.
d. Minta pasien duduk di kursi periksa.
e. Pemeriksa meminta pasien untuk memberikan kode terhadap masing-masing rasa, seperti 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa asin, 3 untuk rasa pahit dan 4 untuk rasa asam.
f. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menjulurkan lidahnya.
g. Pemeriksa menyentuhkan beberapa bahan makanan satu per satu pada lidah pasien pada beberapa tempat dengan
menggunakan cotton bud. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, karena jika hal ini dilakukan maka bubuk akan tersebar ke bagian lainnya seperti sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang atau depan lidah yang dipersarafi oleh saraf lain.
h. Minta pasien mengenali jenis bahan makanan tersebut dengan mengangkat tangan menggunakan kode yang telah disepakati sebelumnya.
i. Pasien boleh meminum air putih pada jeda pemeriksaan sebelum mencoba bahan makanan lainnya.
Analisis hasil pemeriksaan
Fungsi pengecapan dipersarafi oleh N VII pada 2/3 lidah bagian depan dan oleh N IX pada 1/3 bagian belakang. Adanya gangguan pada kemampuan mengenali rasa disebabkan oleh lesi pada saraf tersebut atau pada taste bud yang berisi reseptor-reseptor untuk fungsi pengecapan.
Gambar 46. Fungsi pengecapan lidah
Referensi
a. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009. P:539.
b. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2008. p:59.
Indera Penciuman
- Pemeriksaan Fisik Hidung Tingkat Keterampilan: 4A Tujuan
a. Melakukan inspeksi hidung dan bentuk hidung.
b. Melakukan pemeriksaan hidung dengan rhinoskopi anterior.
Alat dan Bahan
a. Spekulum hidung
b. Pen light
Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan hidung dengan penlight
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
c. Inspeksi permukaan anterior dan inferior hidung. Nilai adanya tanda-tanda inflamasi, trauma, atau anomali kongenital. Apakah hidung lurus? Apakah deviasi hidung melibatkan bagian tulang atau bagian kartilago?
d. Palpasi hidung untuk menilai adanya nyeri dan bengkak.
e. Minta pasien untuk mendongakkan kepalanya. Berikan tekanan ringan pada ujung hidung dengan jari jempol anda untuk memperlebar lubang hidung, dan dengan bantuan penlight pemeriksa dapat melihat sebagian vestibula.
f. Inspeksi posisi septum terhadap kartilago lateral di tiap sisi.
g. Inspeksi vestibula untuk melihat adanya inflamasi, deviasi septum anterior, atau perforasi.
h. Inspeksi mukosa hidung. Nilai warna mukosa hidung. Lihat adanya eksudat, bengkak, perdarahan, tumor, polip, dan trauma. Mukosa hidung biasanya berwarna lebih gelap dibanding mukosa mulut.
i. Jika terjadi epistaksis, periksa daerah little yang terletak kurang lebih 0,5 - 1 cm dari tepi septum untuk menilai adanya krusta dan hipervaskularisasi.
j. Ekstensikan kepala pasien untuk menilai deviasi atau perforasi septum posterior. Nilai ukuran dan warna konka inferior.
k. Inspeksi ukuran, warna, dan kondisi mukosa konka media. Lihat apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, tumor atau polip.
l. Inspeksi pengembangan cuping hidung apakah simetris. Periksa patensi tiap lubang hidung dengan meletakkan satu jari di tiap ala nasi dan minta pasien untuk menarik napas melalui hidung.
m. Palpasi sinus maksilaris dan frontalis. Palpasi sinus frontalis dengan mengetuk tulang di daerah alis, hindari menekan mata. Kemudian lakukan ketukan pada sinus maksilaris. Lihat respon wajah pasien, apakah pasien terlihat kesakitan.
Pemeriksaan rhinoskopi anterior
a. Menggunakan otoskop.
-
Letakkan jempol kiri pemeriksa di ujung hidung pasien sembari pemeriksa menggunakan telapak tangannya untuk mempertahankan kepala pasien agar tetap tegak.
-
Ekstensikan sedikit kepala pasien saat memasukkan spekulum otoskop ke lubang hidung.
-
Setelah satu lubang hidung diperiksa, pindahkan ke lubang lain. Sarankan pasien bernapas dari mulut agar lensa otoskop tidak berembun.
-
Nilai mukosa hidung, apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, polip, tumor, sekret dan deviasi septum.
Gambar 47. Penggunaan otoskop
b. Menggunakan spekulum hidung.
-
Alat dipegang oleh tangan kiri pemeriksa dengan posisi jempol berada pada sendi spekulum nasal dan jari telunjuk kiri pemeriksa diletakkan di ala nasi pasien untuk memfiksasi. Spekulum dimasukkan ke lubang hidung
pasien dengan posisi membentuk sudut 15o terhadap bidang horizontal.
-
Blade spekulum nasal dimasukkan sekitar 1 cm ke dalam vestibula, dan leher pasien sedikit diekstensikan.
-
Tangan kanan pemeriksa memegang kepala pasien untuk memposisikan kepala pasien agar struktur internal hidung terlihat lebih jelas.
-
Kemudian blade spekulum nasal dibuka ke arah superior sehingga vestibulum terbuka lebar. Hindari membuka blade spekulum nasal ke arah inferior karena menyebabkan nyeri.
-
Nilai mukosa hidung, apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, polip, tumor, sekret dan deviasi septum.
-
Setelah memeriksa satu lubang hidung, spekulum yang masih dipegang oleh tangan kiri pemeriksa dikeluarkan dengan menutupnya sebagian untuk mencegah terjepitnya bulu hidung. Lalu dimasukkan ke lubang hidung yang satu lagi.
Gambar 48. Penggunaan spekulum Analisis Hasil Pemeriksaan
a. Contoh kelainan pada bagian eksternal hidung:
Gambar 48. Rhinophyma
b. Pada palpasi:
Bengkak atau nyeri pada palpasi di ujung hidung atau alae menandakan infeksi lokal seperti furunkel.
c. Pada rhinoskopi anterior, dapat ditemukan:
-
Deviasi septum
-
Polip
-
Epistaksis
-
Kelainan warna mukosa
-
Tumor
-
Sekret
-
Benda asing
Referensi
a. Bickley LS. Bates Guide to Physical Examination and History Taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
b. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders, 2005.
- Pemeriksaan Transluminasi Sinus Frontalis Dan Maksilaris Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan transiluminasi sinus. Alat dan Bahan: Nasal Illuminator
Teknik Pemeriksaan
a. Gelapkan ruangan pemeriksaan.
b. Untuk melihat sinus frontalis, dengan menggunakan penlight, sinari bagian medial alis mata ke arah atas. Tutupi cahaya dengan tangan anda.
c. Lihat cahaya merah di daerah dahi yang merupakan transmisi sinar melalui sinus frontalis yang berisi udara menuju dahi.
d. Untuk melihat sinus maksilaris, masukkan penlight yang sudah dibungkus plastik bening ke dalam rongga mulut dan minta pasien menutup mulutnya. Sentuhkan lampu penlight ke palatum durum.
e. Lihat cahaya merah berbentuk bulan sabit dibawah mata yang merupakan transmisi sinar melalui sinus maksilaris yang berisi udara menuju inferior orbita.
f. Nilai gradasi terang sinar merah. Pada sinusitis yang berisi cairan atau massa transmisi sinar tidak terjadi (gelap).
Gambar 50. Transiluminasi sinus Analisis Hasil Pemeriksaan
Kelemahan pemeriksaan ini adalah nilai subjektivitasnya yang tinggi tergantung interpretasi dan pengalaman pemeriksa.
Referensi
a. Bickley LS. Bates Guide to Physical Examination and History Taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
b. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders, 2005.
- Penatalaksanaan Perdarahan Hidung Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
a. Penanganan epistaksis anterior dengan penekanan langsung; penggunaan kaustik dengan AgNO3; atau dengan tampon anterior.
b. Penanganan epistaksis posterior dengan tampon posterior (bellocq).
Alat dan Bahan
a. Sarung tangan
b. Kacamata (google)
c. Lampu kepala
d. Spekulum hidung
e. Forceps bayonet
f. Spatula lidah
g. Kassa dan kapas
h. Plester
i. Lidocain 2% atau pantocain.
j. Epihephrine 0.25 mg.
k. Vaselin atau salep antibiotik.
l. AgNO3 25-30%.
m. Kateter karet.
n. Alat penyedot (suction).
o. Tampon Bellocq: kassa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm, diikat 3 utas benang; 2 buah pada satu sisi dan satu buah di sisi yang berlawanan.
Gambar 51. Alat yang dibutuhkan Teknik Tindakan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur tindakan yang dilakukan.
b. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur tindakan.
c. Pertahankan suasana tenang di ruangan.
d. Periksa keadaan umum pasien. Lakukan anamnesis untuk menentukan sebab perdarahan. Periksa nadi, tekanan darah, dan pernapasan pasien. Jika ada kelainan, atasi terlebih dulu.
Penanganan epistaksis anterior dengan penekanan langsung
a. Posisikan pasien untuk duduk tegak dan sedikit condong ke depan serta mulut terbuka agar darah dapat dikeluarkan lewat
mulut dan tidak ditelan. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegang tegak dan tidak bergerak- gerak.
b. Lakukan penekanan langsung pada bagian kartilaginosa anterior hidung selama 20 menit**.**
Penanganan epistaksis anterior dengan tampon adrenalin
a. Jika tidak berhasil, diperlukan Teknik yang lebih invasif. Siapkan peralatan yang dibutuhkan. Gunakan baju pelindung_,_ kacamata, dan sarung tangan serta lampu kepala. Sebaiknya hindari prosedur ini pada pasien dengan hipertensi dan gangguan jantung.
b. Rendam kapas dengan campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain. Pasang 1-2 kasa ke dalam hidung yang berdarah. Letakkan kasa kering pada bagian luar untuk mencegah rembesan dan tetesan darah keluar. Biarkan selama 10 menit.
c. Evaluasi setelah 10 menit, keluarkan kapas. Evakuasi bekuan darah dengan meminta pasien menunduk perlahan.
d. Identifikasi sumber perdarahan apakah dari anterior atau posterior hidung. Periksa septum dengan menggunakan spekulum hidung. Periksa perdarahan pada pleksus Kiesselbach. Bersihkan bekuan darah dengan alat penghisap jika ada.
e. Bila perdarahan tidak teratasi dilakukan penanganan epistaksis dengan tampon anterior.
Penanganan epistaksis anterior dengan tampon AgNO3
a. Jika sumber perdarahan terlihat, tempat asal perdarahan dapat dikaustik dengan larutan nitras argenti (AgNO3) 25-30%. Bila perdarahan dapat diatasi, berikan antibiotik pada area tersebut.
b. Bila perdarahan tidak teratasi dilakukan penanganan epistaksis dengan tampon anterior.
Penanganan epistaksis anterior dengan tampon anterior
a. Siapkan kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik.
b. Spekulum hidung dipegang oleh tangan kiri pemeriksa dengan posisi jempol berada pada sendi spekulum nasal dan jari telunjuk kiri pemeriksa diletakkan di ala nasi pasien untuk memfiksasi. Spekulum dimasukkan ke lubang hidung pasien
dengan posisi membentuk sudut 15o terhadap bidang horizontal.
c. Blade spekulum nasal dimasukkan sekitar 1 cm ke dalam vestibula, dan leher pasien sedikit diekstensikan.
d. Tangan kanan pemeriksa memegang bayonet forceps. Pasang kassa secara bertumpuk 2-4 buah, dari anterior ke posterior. Tampon harus diletakkan sedalam mungkin.
e. Lakukan pemeriksaan orofaring dengan spatula lidah untuk memastikan tidak ada tampon hidung yang jatuh ke rongga orofaring.
f. Minta pasien kontrol untuk melepaskan tampon setelah 48 jam. Sarankan agar pasien tetap mempertahankan posisi setengah duduk selama 48 jam (termasuk saat tidur).
g. Jika perdarahan tetap tidak berhenti, pertimbangkan pemasangan tampon bilateral untuk meningkatkan tekanan di septum nasi. Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat dipastikan dan perdarahan berlanjut, curigai perdarahan posterior.
Gambar 52. Tampon anterior Epistaksis Posterior
a. Siapkan tampon Bellocq dan peralatan lainnya untuk memasang tampon.
b. Tampon posterior dipasang dengan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut.
c. Pada ujung kateter, diikatkan 2 benang tampon Bellocq.
d. Tarik kateter kembali melalui hidung sampai benang keluar
e. Dengan bantuan jari telunjuk, tampon belloq didorong ke arah nasofaring (choana) melewati palatum mole sehingga menekan sumber perdarahan (plexus woodruf).
f. Jika masih ada perdarahan, tambahkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
g. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior untuk memfiksasi tampon.
h. Benang yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
i. Minta pasien kontrol 2 hari untuk mencabut tampon anterior dan kontrol hari ke 5 untuk mencabut tampon Bellocq.
Gambar 53. Tampon Bellocq
Referensi
a. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. Stuttgart: Thieme, 2003. Kucik CJ. Management of epistaxis. Am Fam Physician. 2005 Jan 15;71(2):305-311
b. Soepardi EA, et al (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. 6th ed. Jakarta:Penerbit fakultas kedokteran universitas Indonesia, 2007.
c. Goralnick E. [Internet]. Anterior epistaxis nasal pack; 2012 [cited 2014 March 5]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/80526- overview#showall
- Pengambilan Benda Asing Pada Hidung Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Pengambilan benda asing di hidung dengan menggunakan
direct instrument; hooked probes; kateter; alat penyedot (suction)
Alat dan Bahan
a. Sarung tangan
b. Lampu kepala
c. Lidocain 1% dan phenylephrine 0.5%
d. Direct instruments: hemostat, forceps alligator, forceps bayonet
e. hooked probes
f. Kateter foley (5-8 french)
g. Spuit 3 cc
h. Alat penyedot (suction)
Teknik Pemeriksaan
a. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
b. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
c. Pertahankan suasana tenang di ruangan.
d. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien.
e. Persiapkan peralatan yang dibutuhkan.
f. Posisikan pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun dengan sedikit elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif harus difiksasi. Minta bantuan untuk memfiksasi kepala.
g. Pemberian anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan tampon adrenalin pada lubang hidung membantu pemeriksaan dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain.
h. Untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk bulat, dan tidak mudah hancur, gunakan instrument hemostat, forseps alligator, atau forsep bayonet.
i. Untuk benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk dipegang, gunakan hooked probes. Hook diletakkan dibelakang benda asing dan diputar sehingga sudut hook terletak dibelakang benda asing. Benda asing kemudian ditarik ke depan.
Gambar 54. Teknik pengambilan benda asing
j. Untuk benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh instrumen, dapat juga digunakan kateter balon. Gunakan kateter foley atau kateter fogarty. Periksa balon kateter dan oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan posisi pasien supine, masukkan kateter melewati benda asing dan kembangkan balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak kecil dan 3 ml untuk anak yang berbadan besar). Setelah balon dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan benda asing. Hindari pengambilan benda yang bulat dengan forceps karena dapat menyebabkan benda terdorong ke posterior.
Gambar 55. Penggunaan kateter balon
k. Penyedotan dengan suction digunakan untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, licin, dan berbentuk bulat. Ujung kateter ditempatkan di benda asing, dan dilakukan penyedotan dengan tekanan 100-140 mmHg.
l. Suction juga digunakan untuk mengevakuasi sekret di hidung yang menghalangi benda asing.
Referensi
a. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. Stuttgart: Thieme, 2003.
b. Soepardi EA, et al (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. 6th ed. Jakarta:Penerbit fakultas kedokteran universitas Indonesia, 2007.
c. Fischer JI [internet]. Nasal foreign bodies; 2013 [cited 2014 March 5]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/763767- overview#aw2aab6b9
d. Chmielik LP. Foreign bodies in the nose, throat, esophagus, trachea, and bronchi in children. New Medicine. 2009:4:89-91.